Jakarta – Di tengah arus zaman yang menuntut kecepatan dan kompleksitas berpikir, kombinasi antara aktivisme dan akademik menjadi jalan strategis bagi lahirnya generasi pembaharu. Bukan hanya menjadi pemikir di menara gading, tetapi juga menjadi pelaku nyata dalam ruang sosial dan kebijakan publik.
Aktivisme dan akademik bukan dua hal yang bertentangan. Justru keduanya adalah dua sayap yang harus dikembangkan secara seimbang. Aktivisme menempa keberanian, kepedulian, dan ketangguhan di tengah realitas masyarakat. Sementara akademik mempertajam nalar, mengasah analisis, dan memperkuat landasan berpikir dalam menghadapi persoalan bangsa.
“Di jalanan kutempa nurani, di ruang kelas kutajamkan nalar. Aktivisme dan akademik bukan dua kutub yang berseberangan, tapi dua sayap untuk terbang lebih tinggi demi perubahan,” ujar Wakil Sekretaris Jenderal PB HMI Oktaria Saputra. Minggu (27/07/2025)
Bangsa ini memerlukan anak muda yang bukan hanya vokal, tetapi juga visioner. Yang bersuara lantang di ruang publik, namun tetap berpikir tajam di ruang akademik. Karena keberanian tanpa ilmu bisa membabi buta, dan ilmu tanpa keberanian bisa kehilangan daya ubahnya.
Aktivis sejati bukan sekadar turun ke jalan, tetapi juga naik ke podium-podium ilmiah. Mereka menyuarakan keadilan di tengah keramaian, dan menyusun strategi perubahan dalam kesunyian perpustakaan. Di antara teori dan realita, mereka memilih menjadi pelaku sejarah.
“Pena dan mimbar adalah senjata. Ilmu dan aksi adalah jalannya,” ungkapnya lagi. Inilah bentuk perjuangan baru yang tidak hanya melawan ketidakadilan, tapi juga membangun fondasi intelektual untuk masa depan bangsa.
Aktivisme dan akademik adalah kompas sekaligus mesin. Yang satu menunjukkan arah perubahan, yang lain menggerakkan perubahan itu sendiri. Di tengah tantangan zaman, keduanya harus dirawat, diperkuat, dan dibawa bersama menuju Indonesia yang lebih adil, cerdas, dan bermartabat.