JAKARTA – Pemilihan Umum sebagai salah satu pilar demokrasi pada dasarnya lahir dari keinginan dan cita–cita reformasi yang disepakati oleh seluruh anak bangsa melalui Penetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat yang dituangkan dalam Undang – Undang Dasar 1945 ( Pasal 22E Amandemen ) yang dimaksudkan sebagai jalan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dengan memberikan kebebasan kepada rakyat untuk menentukan sendiri wakil – wakilnya pada badan – badan legislative serta memilih sendiri pemimpin Negara tertinggi yang akan menjalankan kekuasaan untuk mengatur tegaknya hukum serta mengatur jalannya roda pemerintahan.
Karenanya, Pimpinan Pusat Barisan Rakyat Untuk Perjuangan Adil Sejahtera (Barupas) Indonesia, Azrai Ridha mengkritik proses Pemilihan Umum (pemilu) yang semestinya diwujudkan dengan cara–cara yang bermartabat, menjunjung tinggi nilai–nilai kejujuran, berakhlak, beretika serta memberikan penghormatan terhadap nilai–nilai hukum. “Dengan pemilu yang bermartabat, akan dihasilkan pemimpin negara yang bertaqwa, berkualitas, cerdas, berintegritas, jujur, dan amanah,” ungkapnya di Jakarta kemarin.
Selain itu, dikatakan, Azrai Ridha, penyelenggara pemilu harus dapat menempatkan dirinya pada posisi penyeimbang dalam setiap persoalan yang dihadapi oleh anak bangsa, serta tegas dalam mengambil keputusan.
Namun dalam proses pemilihan umum, khususnya pemilihan presiden untuk periode 2024–2029, ditengarai dan diawali dengan berbagai kecurangan yang mengarah pada pembentukan konsorsium politik guna mewujudkan serta menguatkan syahwat kekuasaan serta untuk melegitimasi lahirnya politik dinasti.
Terbentuknya konsorsium politik, diungkapkan Azrai Ridha telah menyebabkan terjadinya banyak kecurangan yang menguntungkan salah satu calon presiden/wakil presiden.
Bahkan dilakukan dengan cara-cara, yang bertentangan dengan peraturan perundang–undangan, terjadinya perselingkuhan bahkan muncul dugaan kuat telah terjadi ‘perzinahan’ politik antara rezim yang berkuasa dengan Mahkamah Konstitusi (MK), yang melahirkan putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023.
“Secara hukum diputuskan dengan cara yang bertentangan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi sendiri yang kemudian diterima oleh penyelenggara pemilihan umum dengan melakukan pendaftaran salah satu calon presiden/wakil presiden yang terindikasi kuat hendak dijadikan sebagai putra mahkota untuk menerima warisan kekuasaan,” ungkapnya.
Diungkapkan, Azrai Ridha, sekalipun keputusan Dewan Kehormatan Mahkamah Konsitusi, menyebutkan telah terjadi pelanggaran etika dalam putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023, begitu juga dengan penyelenggara pemilihan umum telah di putus melanggar etika dalam pendaftaran calon presiden/wakil presiden, dengan putusan Dewan Kehormatan Penyeleggara Pemilihan Umum.
Namun keputusan ini, dijelaskan Azrai Ridha, juga sama sekali tidak dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan keputusan politik guna mendiskualifikasi salah satu calon presiden/wakil presiden yang dipersepsikan sebagai pewaris mahkota kekuasaan yang juga dapat diduga hal ini terkait dengan cawe cawe yang dilakukan oleh Presiden dalam proses Pemilihan umum yang akan diadakan beberapa hari kedepan.
“Sangat Prihatin dan memprotes keras kegiatan “melakukan cawe–cawe“, tanpa malu–malu, menggunakan bantuan sosial yang diserap dari kantong Negara yang diduga bertujuan untuk mempengaruhi pilihan masyarakat pada putra mahkota, dan kampanye terselubung dengan menggunakan fasilitas negara. Azrai menekankan, tanpa mendapat sanksi apapun dari pengawas yang bertanggung jawab terhadap pelanggaran yang dilakukan, proses pemilihan umum telah dilakukan dengan tidak mengindahkan rambu–rambu hukum sehingga tidak salah jika masyarakat memberikan predikat pemilihan presiden 2024 sebagai pemilihan presiden paling memalukan dalam sejarah republik.
“Patut pula di duga bahwa oleh karena proses pemilihan presiden sudah diawali dengan perselingkuhan yang melahirkan putra mahkota yang akan di rancang untuk mewarisi kekuasaan maka proses perhitungan suara juga akan diwarnai oleh kecurangan – kecurangan sebagai jalan mendudukkan putra mahkota pada kursi kekuasaan,” tegasnya.
Ketum Barupas Indonesia pun meminta kepada pemerintah, untuk memperhatikan dengan sungguh dan tidak mengabaikan pernyataan sikap yang disampaikan oleh kalangan akademis, para praktisi hukum, serta kelompok – kelompok masyarakat sipil adalah menunjukkan rasa muak dan dan jijik terhadap rezim yang berkuasa dengan segala kebijakannya khususnya yang berhubungan dengan perzinahan politik yang melahirkan dinasti kekuasaan adalah suatu pelanggaran moral dan etika dimana dikhawatirkan akan membentuk gelombang perlawanan sipil (civil resistance).
Dia pun menegaskan, meminta kepada seluruh rakyat Indonesia untuk bersama sama dan bersatu padu melawan setiap indikasi kecurangan–kecurangan yang diduga oleh para pihak–pihak yang yang berkepentingan agar Pemilihan Umum ini tidak melahirkan Presiden dan Parlemen yang benar–benar pilihan rakyat tapi untuk mempertahankan dinasty politik yang didukung oleh oligarki–oligarki politik dan ekonomi dan para koruptor–koruptor yang sedang tersandera oleh rezim.
Ketua Barupas Indonesia pun meminta, kepada lembaga Penyelenggara Pemilihan Umum (KPU, Bawaslu dan Panwaslu) TNI, Polri dan Aparatur Sipil Negara menjaga netralitas dan profesionalitas yang berdiri diatas semua kelompok, golongan sehingga akan menjamin keberhasilan Pemilihan Umum yang Jujur, Adil, Independen dan Terbuka.
Dia pun menekankan, kepada seluruh pejabat Negara (Presiden, Wakil Presiden, Menteri Kabinet) untuk menjaga kehormatan jabatan dan pribadi dengan menjaga moralitas dan etika dalam melaksanakan setiap tugas dan fungsinya sehingga menjadi contoh dan teladan bagi semua pihak yang sekarang ini krisis kepercayaan kepada lembaga – lembaga negara dengan istilah bahwa “Indonesia tidak baik–baik saja”.
Tidak ada komentar