Bank Indonesia mencatat bahwa utang luar negeri (ULN) Indonesia, baik dari sektor publik maupun swasta, pada Agustus 2023 turun menjadi $395,1 miliar dari bulan sebelumnya $397,1 miliar.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi (BI) Erwin Haryono mengatakan penurunan utang tersebut bersumber dari sektor publik dan swasta. Utang pemerintah menurun dari bulan lalu sebesar $193,2 miliar menjadi $191,6 miliar pada Agustus 2023. Sedangkan utang swasta turun tipis dari $194,5 miliar menjadi $194,3 miliar.
“Perkembangan ULN tersebut dipengaruhi oleh perpindahan penempatan dana investor nonresiden pada pasar Surat Berharga Negara (SBN) domestik seiring dengan volatilitas di pasar keuangan global yang tinggi. Selain itu, pemerintah berkomitmen tetap menjaga kredibilitas dengan memenuhi kewajiban pembayaran pokok dan bunga utang secara tepat waktu, serta mengelola ULN secara hati-hati, efisien, dan akuntabel,” ujar Erwin dalam keterangan tertulis Senin (16/10).
Erwin menjelaskan utang luar negeri dibutuhkan pemerintah untuk pembiayaan sektor produktif dan belanja prioritas untuk menopang pertumbuhan ekonomi. Antara lain untuk jasa kesehatan dan kegiatan sosial (24 persen), administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial (18,2 persen), jasa pendidikan (16,8 persen), dan konstruksi (14,2 persen).
Sedangkan ULN swasta muncul dari beberapa sektor seperti industri pengolahan, jasa keuangan, pengadaan listrik, dan pertambangan. ULN swasta tersebut didominasi utang jangka panjang dengan pangsa mencapai 74,9 persen total ULN swasta.
“ULN Indonesia pada Agustus 2023 tetap terkendali sebagaimana tercermin dari rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto yang turun menjadi 29,1 persen, dari 29,2 persen pada bulan sebelumnya, serta didominasi oleh ULN jangka panjang dengan pangsa mencapai 87,4 persen dari total ULN,” tambahnya.
Indef: Posisi Utang Belum Aman
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eka Puspitawati mengatakan penurunan tipis utang tersebut belum menunjukkan posisi Indonesia aman. Ia beralasan utang-utang baru jangka panjang yang dibuat pemerintah belum mulai jatuh tempo. Padahal posisi utang luar negeri pemerintah jangka panjang masih cukup tinggi, yakni di atas $192 miliar dan rasio utang luar negeri terhadap PDB masih di kisaran 30 persen.
“Belum tentu menunjukkan bahwa Indonesia lebih aman, karena pembayaran netto pinjaman luar negeri dan global bond jangka panjang yang jatuh tempo di triwulan ini saja yang relatif lebih kecil dari sebelumnya,” kata Eka kepada VOA, Selasa (17/10).
Eka menyarankan pemerintah untuk mewaspadai periode jatuh tempo utang yang relatif lebih besar supaya diatur tidak berbarengan dengan utang baru agar tidak membebani pembayaran. Selain itu, kata dia, tren pembayaran pokok utang dari Januari 2022 hingga sekarang yang terus meningkat perlu diwaspadai sebagai beban utang tiap bulan yang terus naik.
“Risiko pasar global juga perlu menjadi perhatian pemerintah karena risiko-risiko yang berkaitan dengan fluktuasi suku bunga internasional yang berpengaruh terhadap dalam negeri, nilai tukar mata uang, harga komoditas, dan inflasi akan menjadi ancaman peningkatan pembayaran utang luar negeri pemerintah,” tambahnya.
Kata Eka, peraturan perundang-undangan keuangan negara memang menetapkan batas ambang rasio utang terhadap PDB sebesar 60 persen. Adapun posisi utang Indonesia masih di kisaran 30 persen sehingga relatif aman. Namun, kata dia, parameter kemampuan membayar utang berdasarkan kemampuan penerimaan negara seperti pajak belum menjadi ukuran. Karena itu, ia mengingatkan agar melihat penerimaan pajak yang mengalami perlambatan walaupun secara nilai meningkat. [sm/ah]
Tidak ada komentar