Direktur LBH Sisar Matiti Angkat Bicara Penolakan MRP PBD terhadap Abdul Faris Umlati dan Petrus Kasihiw Dinilai Sebagai Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan Asli Papua

RED PAPUA BARAT
27 Sep 2024 15:52
Politik 0 43
3 menit membaca

Sorong, (27/09/2024) – Keputusan Majelis Rakyat Papua Barat Daya (MRP PBD) yang menolak Abdul Faris Umlati dan Petrus Kasihiw sebagai bagian dari masyarakat adat Papua dinilai oleh sejumlah aktivis sebagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan asli Papua. Yohanes Akwan, SH., Direktur Eksekutif YLBH Sisar Matiti, menyatakan bahwa keputusan tersebut mengabaikan hak-hak perempuan Papua sebagai ibu yang melahirkan generasi penerus.

“Perempuan Papua adalah rahim dari adat Papua. Ketika MRP PBD menolak anak-anak yang lahir dari rahim perempuan Papua hanya karena ayah mereka bukan orang asli Papua, itu sama saja dengan menolak perempuan Papua itu sendiri. Ini jelas bentuk diskriminasi yang tidak hanya melukai hak asasi manusia, tetapi juga mencederai martabat perempuan Papua,” tegas Yohanes Akwan dalam wawancaranya.

Lebih lanjut, Yohanes menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan secara tegas melarang segala bentuk diskriminasi yang didasarkan pada jenis kelamin dan status perkawinan. “MRP PBD harus memahami bahwa konstitusi kita melindungi hak setiap perempuan Papua, termasuk anak-anak yang lahir dari rahim mereka, terlepas dari siapa pun ayah mereka,” tambahnya.

Yohanes mengkritisi sikap MRP PBD yang mengkategorikan anak-anak yang lahir dari ayah non-Papua dan ibu asli Papua sebagai “bukan orang asli Papua”. Menurutnya, hal ini bertentangan dengan nilai-nilai adat Papua yang mengutamakan peran dan kedudukan perempuan sebagai penjaga tradisi dan penerus generasi.

“Perempuan Papua bukan sekadar penghuni dapur. Mereka adalah simbol adat, penentu keberlangsungan budaya dan tradisi. Ketika MRP PBD meminggirkan anak-anak perempuan Papua hanya karena identitas ayah mereka, itu artinya mereka menolak keberadaan perempuan Papua sebagai penjaga adat. Ini harus dilawan,” ujar Yohanes dengan tegas.

Yohanes menyerukan kepada seluruh perempuan Papua untuk bangkit dan menolak keputusan MRP PBD ini. “Saatnya perempuan Papua bersatu, menyuarakan hak-hak politik bagi anak-anak mereka yang selama ini disingkirkan. Jangan biarkan keputusan ini menjadi preseden buruk yang semakin melemahkan posisi perempuan di ruang publik,” ujarnya.

Di akhir wawancaranya, Yohanes menekankan bahwa keputusan MRP PBD yang dianggap cacat formil ini perlu ditinjau kembali karena bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan yang dijunjung tinggi dalam sistem hukum Indonesia. “Abdul Faris Umlati dan Petrus Kasihiw adalah putra Papua yang lahir dari rahim perempuan Papua. Keputusan ini tidak hanya merugikan mereka, tetapi juga mengkhianati semangat perlindungan terhadap perempuan asli Papua,” tutupnya.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Papua Women Network pada tahun 2022, perempuan Papua memiliki peran sentral dalam struktur sosial dan budaya Papua. Mereka tidak hanya bertindak sebagai penjaga tradisi, tetapi juga menjadi tokoh penting dalam pengelolaan sumber daya alam dan penyebaran nilai-nilai adat kepada generasi muda. Hasil penelitian ini menegaskan bahwa perempuan Papua adalah kunci dalam mempertahankan identitas budaya dan kearifan lokal.

Lebih lanjut, jurnal yang diterbitkan oleh Lembaga Penelitian Papua tahun 2023 mencatat bahwa peran perempuan Papua sangat vital dalam menjaga keseimbangan sosial. Dalam adat Papua, seorang perempuan tidak hanya dilihat sebagai ibu dari anak-anak mereka, tetapi juga sebagai simbol keutuhan keluarga dan komunitas. Karena itu, setiap keputusan yang menyingkirkan peran perempuan dalam tatanan sosial dianggap sebagai serangan terhadap sistem adat itu sendiri.

Dalam konteks ini, penolakan terhadap anak-anak yang lahir dari rahim perempuan Papua merupakan ancaman serius terhadap struktur adat Papua yang selama ini menghargai dan menghormati kedudukan perempuan sebagai “pemilik tanah dan penentu garis keturunan.” Oleh sebab itu, para aktivis menegaskan bahwa keputusan MRP PBD tidak hanya merendahkan hak individu, tetapi juga berpotensi melemahkan tatanan adat yang menjadikan perempuan sebagai pilar utama keberlanjutan budaya Papua.

Dengan kondisi ini, YLBH Sisar Matiti mengajak seluruh elemen masyarakat untuk berjuang bersama menegakkan hak perempuan Papua dan memastikan bahwa MRP PBD tidak lagi mengeluarkan keputusan yang mendiskriminasi dan merendahkan martabat perempuan Papua.

x
x