Fenomena Bunuh Diri, Mirisnya Nasib Generasi

HAK SUARA
13 Des 2023 16:42
Ragam 0 159
4 menit membaca

OPINI—Nasib generasi sungguh memprihatinkan. Baru-baru ini seorang anak SD di kecamatan Doro, Kabupaten Pekalongan mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri. Anak SD (10 tahun) tersebut ditemukan menggantungkan dirinya dengan kain di jendela dalam kamarnya pada hari Rabu (22/11). Memilukannya aksi bunuh diri tersebut dikarenakan ditegur ibunya untuk berhenti bermain HP.

Hal serupa menimpa bocah SD di Jakarta Selatan. SR(13) adalah seorang siswi Sekolah Dasar Negeri 6 Petukangan Utara yang ditemukan jatuh dari lantai empat sekolahnya. Siswi malang tersebut dinyatakan meninggal dunia saat dalam perawatan di RSUP.

Anak adalah generasi penerus bangsa, namun generasi saat ini sangat memprihatinkan. Sepanjang tahun 2023 terdapat 20 kasus bunuh diri pada anak. Sebagaimana yang disampaikan Nahar sebagai Deputi Bidang Perlindungan khusus Anak KemenPPPA, penyebabnya depresi, perundungan dan lainnya. (rri.co.id 11/11/2023).

Tentu ini adalah PR bersama, mengingat usia anak-anak tersebut masih sangat muda. Waktu dan kehidupan mereka seharusnya dipenuhi dengan bermain dan keceriaan. Banyaknya kasus bunuh diri menjadi fenomena biasa di tengah masyarakat.

Jika kita bisa melihat kasus-kasus terjadi di luar negeri, tetapi hal ini sudah sangat mudah ditemukan di lingkungan terdekat kita. Tidak ada yang mengetahui keluarga kitalah yang ditimpa hal tersebut. Karena itu, penting untuk mengetahui apa yang menjadi penyebab terjadinya hingga bagaimana cara mereka mengetahuinya.

Lemahnya Mental Generasi

Masa kanak-kanak terutama usia sekolah dasar seharusnya menjadi hari yang menyenangkan. Fenomena bunuh diri tentu tidak terjadi begitu saja. Tidak dapat dimungkiri, mental generasi hari ini amat lemah.

Teguran sedikit saja, jiwa mereka rapuh, mudah stress dan depresi hingga bunuh diri menjadi solusi. Bukan hanya anak-anak, para intelektual yang menempuh pendidikan tinggi pun tidak luput dari dampak rusaknya mental generasi.

Inilah buah penerapan sistem kapitalisme dengan asas kebebasan. Konsep kebebasan yang dibawa barat telah meracuni generasi, mempengaruhi pola pikir dan pola sikapnya.

Kapitalisme dengan akidah sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Tidak heran mereka memiliki mental yang lemah dan rapuh karena standar kebahagiaannya distandarkan pada m ateri saja. Kebahagiaan hanya ditujukan pada kesenangan dunia, hiburan, musik, bermain HP, makan-makan dan segala hal yang berbau instan dan melenakan.

Tidak heran mereka terbentuk menjadi generasi manja dan mudah menyerah, ditimpa masalah sedikit saja sudah stress dan ingin mengakhiri hidup. Mereka hidup menjadi generasi stroberi berkilau dari luar padahal sangat lembek dan lemah dalam menjalani kehidupan.

Bercokolnya sistem kapitalisme juga menggerus peran keluarga, karena itu hilanglah peran keluarga dalam membentuk generasi tangguh. Biaya hidup yang mencekik menyebabkan ayah sibuk bekerja, pendidikan anak diserahkan ke sekolah. Seorang ibu tidak lagi menjadikan mengurus keluarga sebagai ladang pahala. Pemikiran feminisme membuat mereka pun sibuk menjenjang karir.

Bukan hanya keluarga, lingkungan juga sangat berpengaruh. Berbagai persoalan yang lahir di tengah masyarakat, membuat mereka sibuk dengan urusan masing-masing. Pengetahuan mereka tentang bunuh diri tidak mungkin didapatkan begitu saja, disinilah peran media sangat berpengaruh. Apabila media yang dikonsumsi anak tidak mencerdaskan tentu hanya akan menambah informasi salah yang berdampak buruk.

Buruknya media ditentukan oleh kebijakan negara, karena itu negara berperan besar dalam pembentukan generasi. Negaralah yang menerapkan sistem kapitalisme sekularisme, karena itu negaralah yang bertanggung jawab melakukan perubahan.

Islam Pengatur Kehidupan

Masalah anak adalah hal yang sangat darurat untuk diselesaikan. Islam pun memberikan perhatian yang amat besar pada kualitas anak sebagai penerus generasi. Penerapan hukum Islam tidak hanya pada urusan beribadah ritual kepada Sang Pencipta. Islam secara meyeluruh adalah agama yang mengatur seluruh kehidupan manusia.

Karena itu, penting menjadikan Islam sebagai aturan dalam bernegara, sebab negara akan menerapkan sejumlah aturan. Aturan yang tidak berasal dari Sang Pencipta pasti berasal dari manusia yang lemah dan terbatas akalnya.

Negara yang menerapkan Islam dengan sistem pendidikan Islam yang diterapkan mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Di pendidikan dasar ditanamkan akidah Islam dan segala pemahaman Islam yang bertujuan untuk membentuk insan berkepribadian Islam. Di pendidikan tinggi mereka diajarkan tsaqofah asing agar tahu mana yang benar dan salah.

Keluarga memahami fungsinya sebagai pendidik generasi, berkeluarga bukan sekadar hidup dan melahirkan anak-anak tetapi sebagai bentuk ibadah kepada Allah swt. Sejak kecil sudah ditanamkan akidah Islam dan standar kebahagiaan adalah meraih ridha Allah.

Pemahaman akidah menjaga generasi, berfikir realistis, mampu menempatkan kondisi yang menjadi kuasanya dan kondisi di luar kuasanya. Sehingga anak-anak tidak akan menjadi generasi stroberi yang lembek, mudah depresi hingga mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Wallahualam. (*)

 

Penulis
Musdalifah
Mahasiswi Makassar

 

***

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

x
x