Film Thriller Nigeria “The Black Book” Jadi Film Paling Laku di-Streaming di Dunia

HAK SUARA
23 Okt 2023 17:46
4 menit membaca

“The Black Book,” film action-thriller Nigeria yang menceritakan kisah mencekam tentang korupsi dan kebrutalan polisi di negara terpadat di Afrika, telah mencapai rekor jumlah penonton di tangga film Netflix di seluruh dunia. Film tersebut menunjukkan kekuatan dan potensi industri film Nigeria yang berkembang pesat.

“The Black Book” telah menggemparkan dunia streaming, di mana dalam tiga minggu terakhir ini menjadi salah satu di antara 10 judul film berbahasa Inggris teratas di platform ini secara global, dan mencapai puncaknya di posisi ketiga pada minggu kedua.

Film ini mengumpulkan 5,6 juta penonton hanya dalam waktu 48 jam setelah dirilis pada 22 September. Pada minggu kedua sejak dirilis, film ini masuk di antara 10 judul teratas di 69 negara.

“Film dibuat untuk penonton, dan semakin besar jumlah penonton sebuah film, semakin besar pula kemungkinan pesan Anda tersampaikan,” kata produser Editi Effiong kepada The Associated Press. “Kenyataannya, kami membuat film, yang dibuat oleh orang dan didanai oleh Nigeria, dan mendunia,” tambahnya.

Nollywood Jadi Fenomena Global

Nollywood – julukan bagi industri film Nigeria – telah menjadi fenomena global sejak 1990-an ketika menjadi terkenal dengan film-film seperti “Living in Bondage,” sebuah film thriller yang dibintangi oleh Kunle Afolayan, Aníkúlápó, yang dirilis pada 2022, mencapai puncaknya di tangga lagu global Netflix. Ini adalah industri film terbesar kedua di dunia, setelah India, berdasarkan jumlah produksi. Setiap tahunnya Nollywood memproduksi sekitar 2.000 film.

Film laris terbaru Nollywood, “The Black Book,” adalah film senilai $1 juta yang dibiayai dengan dukungan dari tim ahli dan pendiri dalam ekosistem teknologi Nigeria dan merupakan film layar lebar pertama Effiong.

Film ini mengisahkan tentang kondisi Nigeria yang carut marut selama 40 tahun sejak rezim militer membunuh dan menangkapi para pembangkang sesuka hati, bahkan hingga hari ini, ketika kebrutalan dan penyalahgunaan kekuasaan oleh polisi masih merajalela.

Film Fiksi yang Membumi

Film ini dibuka dengan penculikan anggota keluarga kepala badan pengatur minyak Nigeria, yang dibantu oleh polisi korup yang bekerja untuk para politisi papan atas. Untuk menutupi jejak mereka, polisi membunuh seorang pemuda yang dijebak sebagai tersangka penculikan – tanpa mengetahui bahwa ia adalah anak tunggal dari mantan agen khusus yang meninggalkan senjatanya demi mengabdi pada gereja.

Pada masa jayanya, karakter mantan perwira yang menjadi pendeta, Paul Edima – yang diperankan oleh ikon film Nigeria, Richard Mofe-Damijo – dikenal sebagai “orang paling berbahaya” di Nigeria. Masa lalunya diwarnai dengan pembunuhan dan keterlibatannya dalam beberapa kudeta di seluruh Afrika Barat. Ia digambarkan sebagai seorang laki-laki yang bertobat dan membuka lembaran baru setelah terinspirasi oleh ayat Alkitab favoritnya, 1 Korintus 5:17.

Namun kemudian Edima merasa terdorong untuk membalas dendam atas kematian putranya setelah gagal meyakinkan pihak berwenang bahwa putranya tidak bersalah.

Masalah keadilan yang tertunda bukanlah hal yang baru di Nigeria. Banyak orang pada hari Jumat mengenang protes mematikan pada tahun 2020 ketika anak-anak muda Nigeria yang berdemonstrasi menentang kebrutalan polisi ditembaki dan dibunuh. Tiga tahun kemudian, kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan banyak korban kekerasan oleh polisi masih belum mendapatkan keadilan.

Bagi Edima, keadilan untuk putranya harus dibayar mahal. Ia memburu para petugas di balik kematian putranya, satu per satu, yang kemudian membawanya pada jenderal tentara di balik komplotan tersebut. Jenderal itu kebetulan adalah mantan atasannya.

“Ini adalah narasi fiksi, tapi inilah Nigeria,” kata Effiong kepada AP. Dia percaya bahwa Nigeria tidak melakukan pekerjaan yang baik dalam mengajarkan sejarah negara itu di sekolah-sekolah, dan membuat anak-anak muda memahami bagaimana masa lalu negara itu telah ikut membentuk negara tersebut.

“Sebuah masyarakat harus diubah secara positif oleh seni, dan oleh karena itu ada orientasi dari pihak kami untuk, melalui film yang akan kami buat, merefleksikan masalah ini (kebrutalan polisi),” kata Effiong.

Belajar dari Keadaan

Ketika panel penyelidikan yang ditugaskan pemerintah menyelidiki penembakan protes di pusat ekonomi Nigeria, Lagos, pada tahun 2020, Effiong menghadiri pertemuannya dan memberikan informasi terbaru secara langsung melalui halamannya di platform media sosial X, yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter. Pada saat yang sama, pra-produksi untuk film ini sudah dimulai.

Beberapa orang mengatakan bahwa plot film ini mirip dengan film thriller aksi Amerika, “John Wick.” Ini adalah perbandingan yang mengejutkan namun menyanjung, yang juga membuktikan kesuksesan film ini, kata Effiong.

Film ini juga dipuji karena mengisyaratkan besarnya potensi industri film di Nigeria dan juga di seluruh Afrika. Menurut laporan laporan terbaru dari perusahaan intelijen pasar Digital TV Research, pasar video on-demand streaming (SVOD) di benua ini diperkirakan akan mencapai 18 juta pelanggan, naik dari 8 juta tahun ini.

Sementara juru bicara Netflix mengatakan hiburan dengan cerita-cerita lokal tetap menjadi inti dari tujuan utama platform ini di Afrika sub-Sahara. “Afrika memiliki talenta-talenta hebat dan materi-materi kreatif kelas dunia, dan kami berkomitmen untuk berinvestasi pada konten Afrika dan menceritakan beragam kisah Afrika,” tambah Netflix dalam sebuah pernyataan.

Effiong menggarisbawahi bagaimana di Nigeria, industri film berada pada “titik di mana dunia harus memperhatikannya.” Itulah sebabnya, “The Black Book adalah film yang dibuat oleh orang kulit hitam, aktor kulit hitam, produser kulit hitam, 100% uang kulit hitam, dan film ini akan menjadi film laris global.” [em/rs]

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

x
x