HAM sebagai Solusi Persoalan Dunia, Benarkah?

HAK SUARA
16 Des 2023 15:42
Ragam 0 158
4 menit membaca

OPINI—Majelis Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada 1948 menetapkan 10 Desember sebagai peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM). Saat itu PBB mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights/UDHR).

Seluruh negara memperingati hari penting tersebut, termasuk Indonesia. Meskipun peringatan dilakukan setiap tahun, kasus kejahatan terhadap kemanusiaan dan penegak hukum dinilai masih jauh panggang dari api. (voaindonesia.com, 10/12/2023)

Di Indonesia sendiri disebutkan skor indeks Hak Asasi Manusia (HAM) di tahun 2023 ini mengalami penurunan. Sebagaimana dilansir dari cnnindonesia (10/12/2023), bahwa Setara Institute bersama International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) mengungkap skor indeks Hak Asasi Manusia (HAM) Indonesia 2023 mengalami penurunan menjadi 3,2 dari sebelumnya 3,3.

Pemberian skor itu berdasarkan pemenuhan hak-hak yang mengacu pada 6 indikator pada variabel hak sipil dan politik serta 5 indikator pada variabel hak ekonomi, sosial, budaya yang diturunkan ke dalam 50 sub-indikator. Selain itu, Setara pun mengungkap Presiden Joko Widodo memiliki kinerja paling buruk dalam melindungi dan memenuhi hak warga atas tanah dan kebebasan berpendapat.

Menurunnya skor indeks HAM di Indonesia ini patut untuk dikritisi. Mengingat kejadian masa lalu yang tak kunjung terselesaikan. Bahkan, organisasi HAM di dalam dan luar negeri telah menyoroti terkait penggunaan aparat keamanan berlebihan di Papua yang merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM. Seperti pembunuhan di luar hukum dan pelanggaran HAM serius lainnya oleh aparat keamanan di Papua. Tentu saja hal ini kemudian dijadikan subjek diskusi oleh badan-badan HAM PBB dalam meninjau kondisi HAM di Indonesia.

HAM telah dijadikan standar dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Negara-negara barat dan lembaga Internasional sangat massif dalam menyuarakan HAM sebagai solusi persoalan dunia. Hingga rakyat di seluruh dunia pun didorong untuk terus meninggikan nilai-nilai HAM. Bahkan, HAM dianggap mampu mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil dan sejahtera.

Namun, apa yang terjadi? Pelanggaran HAM terjadi dimana-mana. Alih-alih adil dan sejehatera, hidup mereka justru terzalimi dengan ketidakadilan. Cukup kezaliman yang terjadi pada rakyat Palestina di Gaza saat ini menjadi bukti begitu tidak bergunanya slogan HAM ini.

Terlebih Amerika Serikat sebagai negara yang menamakan dirinya sebagai pembela HAM justru sering menjadi negara pelanggar HAM terbesar di dunia. Lihatlah bagaimana dukungannya kepada pihak yang melakukan pemboman di Gaza. Mirisnya lagi, negeri-negeri muslim pun juga ikut menyuarakan HAM sebagai standar pemenuhan hak dasar manusia.

Padahal HAM adalah merupakan produk buatan akal manusia yang sarat dengan kelemahan dan keterbatasan. Lahir dari cara pandang sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Dalam hal ini, agama hanya dianggap sebatas ibadah ritual semata, sementara agama diberi ruang dalam mengatur dan menetapkan aturan hidup bagi manusia.

Dengan kata lain, HAM ini memberikan kebebasan pada manusia dalam menentukan standar aturan bagi dirinya sendiri. Sementara fitrah manusia lemah. Alhasil, dengan konsep seperti ini, alih-alih menyelesaikan masalah justru hanya akan menimbulkan saling tabrak antara kepentingan satu pihak dengan pihak lainnya.

Sehingga tak heran jika pada prakteknya HAM justru dijadikan sebagai alat oleh pihak-pihak yang kuat atau para kapitalis untuk semakin menguatkan genggamannya atas negara lain. Dengan demikian, nilai-nilai hak asasi manusia tergantung pada penguasa dan pengusaha. Tolok ukurnya tergantung pada sejumlah kecil orang yang memegang kekuasaan. Maka, patutlah dikatakan bahwa HAM hanya omong kosong.

Karena itu, bagi seorang muslim, HAM adalah prinsip yang salah karena membuat manusia bebas berbuat apa saja. Selama dalam perbuatannya itu ada manfaat atau keuntungan yang didapatkan. Padahal, Islam telah menetapkan semua perbuatan manusia terikat dengan hukum syara. Dan sungguh, keadilan dan kesejahteraan yang sangat didambakan dalam kehidupan manusia akan mampu diwujudkan dalam sistem yang menerapkan Islam secara kaffah.

Dengan penerapan Islam secara sempurna dalam seluruh aspek kehidupan akan mendatangkan berbagai maslahat, diantaranya terpeliharanya agama, jiwa, akal, harta, keturunan, kehormatan, keamanan dan terakhir terpeliharanya negara. Seluruh kemaslahatan tersebut akan dirasakan oleh seluruh warga negara, baik muslim maupun non muslim (kafir dzimmi), kaya maupun miskin.

Will Durrant (1885—1981), sejarawan Barat yang terkemuka mengatakan bahwa, “Agama (Ideologi) Islam telah menguasai hati ratusan bangsa di negeri-negeri yang terbentang mulai dari Cina, Indonesia, India hingga Persia, Syam, Jazirah Arab, Mesir hingga Maroko dan Spanyol. Ini menjadi bukti bahwa sejarah peradaban Islam telah mewujudkan ketentraman hidup dalam naungan sistem Islam. Wallahu a’lam. (*)

 

Penulis: Hamsina Halik

 

***

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

x
x