Harga Beras Kian Melangit Rakyat Makin Menjerit

HAK SUARA
7 Mar 2024 22:43
Ragam 0 131
5 menit membaca

OPINI—Harga beras setiap tahun terus mengalami kenaikan. Padahal Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan sebagian besar penduduknya bekerja pada bidang pertanian. Indonesia memiliki lahan pertanian yang luas, sumber daya alam beraneka ragam dan berlimpah.

Namun sayang, kenyataan ini tak mampu menjamin kehidupan masyarakat di dalamnya. Karena harga beras kian melangit, membuat rakyat semakin menjerit.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, rata-rata harga beras mengalami kenaikan signifikan di seluruh rantai distribusi pada Februari 2024. Bahkan, harga beras telah mencapai level tertinggi sepanjang sejarah hingga hari ini, dengan mencapai angka 18.000 per kilogram di akhir Februari.

Habibullah mengatakan, rata-rata harga beras di level eceran mencapai Rp 15.157 per kilogram (kg) pada Februari 2024. Angka itu melonjak 24,65 persen secara tahunan dan nai11k 6,7 persen dibandingkan bulan sebelumnya.

“Harga rata-rata dari berbagai jenis kualitas seluruh beras di seluruh kabupaten/kota ini di mana bulan Februari 2024 merupakan harga tertinggi dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya,” tutur Habibullah (KOMPAS.tv, 01/03/2024).

Faktor Penyebab

Beras merupakan kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari. Kenaikan harga beras pasti akan memengaruhi pengeluaran masyarakat, terutama masyarakat yang masih terbatas pendapatannya.

Seharusnya, dengan wilayah Indonesia yang luas dan subur, dengan SDA yang melimpah, negara mampu mengolah potensi tersebut dengan baik agar kebutuhan pokok rakyat, terutama beras dapat tercukupi.

Sungguh ironis. Negeri yang kaya akan sumber daya alam (SDA), dengan kekayaan hasil lautnya, kesuburan tanah yang menyajikan beragam jenis pangan, bagaimana bisa rakyat harus merogoh kantong cukup dalam untuk mendapatkannya?

Jika ditelisik, kenaikan harga pangan selama ini disebabkan banyak faktor

1. Produksi padi menurun karena alih fungsi lahan dari yang awalnya sawah berubah menjadi perumahan, pabrik, atau yang lainnya.

2. Mahalnya sarana produksi pertanian, seperti benih, pupuk, alat, dan mesin pertanian yang harus ditanggung petani, mau tidak mau berefek pada harga beras.

3. Adanya beras impor. Beras impor ini tentu saja mengganggu harga beras lokal.

Kebijakan impor beras ini kemungkinan hanya akan menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. Solusi semacam ini makin memperlihatkan lemahnya negara dalam menangani kedaulatan pangan. Karena, negara hanya menjalankan regulasi berdasarkan arahan para korporasi, bukan berpihak kepada rakyat.

Seharusnya, pemerintah tidak mengandalkan stok beras dari hasil impor, melainkan kepada pemberdayaan para petani dalam negeri sendiri. Negara wajib campur tangan atas upaya petani dari hulu hingga hilir, mulai dari pembibitan, pupuk, pengairan serta teknologi pengembangannya.

Negara juga berperan besar dalam menstabilkan harga-harga, terutama kebutuhan pokok rakyat, dengan memastikan ketersediaan dan ketercukupannya untuk semua rakyat.

4. Belum adanya sanksi tegas pada para mafia pangan ataupun para pelaku penimbunan bahan pangan, yang berkontribusi menjadi penyebab kenaikan harga-harga pangan.

Dengan demikian, makin jelas bahwa tata kelola pangan yang berbasis sistem kapitalisme neo-liberal yang diadopsi negara memang bermasalah. Ia sekaligus menjadi akar penyebab dari problem kenaikan harga pangan yang selalu berulang terjadi dari masa ke masa.

Saat ini negara hanya menjadi regulator dan fasilitator, bukan sebagai pengurus rakyat sepenuhnya. Negara justru banyak berpihak dan bergantung pada korporasi atau swasta, bukan berpihak pada kemaslahatan rakyat, termasuk dalam hal pemenuhan kebutuhan sektor pangan.

Beginilah ketika ketahanan pangan dikelola ala kapitalisme. Dimana hanya keuntungan yang menjadi prioritas. Apalagi, harga-harga kebutuhan pokok diserahkan kepada swasta atau pemilik modal, bukan kepada pasar. Akibatnya, kehidupan rakyat makin sulit dan terimpit, sementara yang mendapat untung besar tetap para pemilik modal (kapital).

Ketahanan Pangan Dalam Islam

Berbeda dalam sistem Islam. Dalam Islam, negara menjalankan kewajibannya karena perintah Allah Swt. Negara berkewajiban untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pangan setiap orang yang hidup dalam naungannya. Ianya juga berkewajiban memastikan tidak ada orang yang kelaparan karena tidak mampu membeli beras.

Rasulullah saw. bersabda, “Imam (khalifah) itu pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR Bukhari dan Ahmad)

Rasulullah saw, Khulafaurrasyidin dan para pemimpin Islam setelahnya, menerapkan hukum-hukum Allah Swt. Selain itu juga berperan menjaga hak-hak masyarakat untuk menjamin kesejahteraan setiap individu. Oleh karenanya, dalam Islam terdapat seperangkat aturan yang mengatur kedaulatan pangan negara dan jaminan pangan bagi warganya.

Begitu pula dengan tata kelola pemerintahan Islam, menjadikan negara mengambil peran penting dalam menjaga stabilitas harga dengan menerapkan sistem ekonomi Islam.

Misalnya, dengan menjamin produksi pertanian dalam negeri berjalan dengan optimal, baik dengan mengolah lahan yang ada (intensifikasi) maupun memperluas lahan (ekstensifikasi) pertanian. Jika kondisi negara benar-benar membutuhkan bantuan dari luar, seperti impor, maka itu tidak dilarang, asal sesuai dengan ketentuan syariat Islam.

Pemimpin dalam sistem Islam akan menerapkan sistem hukum Islam dan akan mengenakan sanksi hukum tegas kepada pihak-pihak yang melakukan kecurangan, seperti penimbunan, praktik riba, maupun kartel. Inilah yang dapat mencegah dan menghilangkan gangguan-gangguan pada berjalannya mekanisme pasar (distorsi pasar).

Islam dengan sistem ekonominya yang berisi tentang kaidah-kaidah perdagangan, insyaa Allah akan mampu menjaga kondisi pasar, mengatur dengan sebaik-baiknya terhadap peredaran barang, dan berupaya menjamin stabilitas harga. Karena, penguasa dalam Islam akan bersungguh-sungguh dalam menetapkan kebijakan secara menyeluruh dalam melenyapkan segala kerusakan dan mengatur perdagangan.

Demikianlah ketika kehidupan ini diatur oleh Islam yang bersumber dari Allah Swt Sang Pemilik Kehidupan. Allahu a’lam bishshawab. (*)

 

Penulis:
Erni Atallah
(Aktivis Muslimah)

 

***

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

x
x