OPINI—Indonesia dipastikan masih akan impor beras pada tahun ini untuk mengamankan pasokan dan memenuhi kebutuhan beras nasional. Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi, mengatakan, impor beras masih akan dilakukan pada awal 2024 atau sebelum panen raya.
Importasi diklaim sebagai langkah antisipatif terhadap defisit neraca beras bulanan. Apalagi, produksi beras pada Januari-Februari 2024 diperkirakan masih di bawah kebutuhan bulanan secara nasional.
Berdasarkan kerangka sampel area (KSA) yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras nasional secara bulanan pada Januari 2024 diperkirakan hanya 0,9 juta ton dan Februari 2024 sebanyak 1,3 juta ton. Jumlah produksi tersebut masih di bawah rata-rata konsumsi beras bulanan secara nasional yang berkisar 2,5 juta ton. (Bisnis.com, 9/01/2024)
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan Indonesia membutuhkan impor beras karena sulit untuk mencapai swasembada. Terlebih jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah dan mereka butuh beras.
“Yang kita harapkan adalah kita ini ingin tidak impor beras lagi, tapi itu dalam prakteknya sangat sulit karena produksinya gak mencapai karena setiap tahun. Kita bertambah yang harus diberikan makan,” kata Jokowi di acara Pembinaan Petani Jawa Tengah, Di Banyumas. (CNBC Indonesia, 2/1/2024).
Untuk diketahui, Indonesia bakal impor 3 juta ton besar dari India dan Thailand pada 2024. Hal tersebut disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Jumat (22/12). Dari target impor 3 juta ton beras, Jokowi mengungkapkan 1 juta ton beras akan didatangkan dari India, sedangkan 2 juta ton sisanya dari Thailand.
Sementara itu, Guru Besar IPB University sekaligus Ketua Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), Dwi Andreas Santosa, justru menilai pemerintah perlu membatalkan wacana impor beras pada 2024.
Pasalnya, wacana impor beras secara nyata telah berdampak pada penurunan harga GKP (gabah kering panen) di tingkat petani. Dari semula Rp7.500 per kilogram menjadi Rp6.800 per kilogram dalam waktu singkat.
Menurut Andreas, pembatalan impor beras perlu dilakukan hingga harga gabah di tingkat petani bisa naik kembali. Harga GKP yang terjaga dengan baik, kata Andreas, bakal mendorong minat petani menanam padi dan produksi pun ikut melonjak.
Adapun, saat ini HPP (harga pembelian pemerintah) GKP masih ditetapkan di level Rp5.000 per kilogram. Andreas pun memperkirakan adanya risiko harga GKP akan anjlok saat panen raya mendatang. Bahkan, harga GKP bisa sampai di bawah Rp5.000 per kilogram.
Sebaliknya, dia justru memproyeksikan produksi beras 2024 akan naik sekitar 3-5% dari produksi 2023 sebanyak 30,89 juta ton. Sejumlah faktor menyebabkan peningkatan produksi beras tahun ini, antara lain karena fenomena El-Nino yang mulai mereda, iklim kembali normal dan harga GKP yang cenderung masih mumpuni (Bisnis.com, 9-01-2024).
Seharusnya negara berusaha untuk mewujudkan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan dengan berbagai langkah solutif dan antispasif. Termasuk menyediakan lahan pertanian di tengah banyaknya alih fungsi lahan, berkurangnya jumlah petani dan makin sulitnya petani mempertahankan.
Pemerintah sebagai institusi pengurus urusan rakyat wajib mewujudkan jaminan ketersediaan beras dengan stok yang mencukupi dan harga yang terjangkau. Pemerintah bahkan tidak boleh sekadar memastikan stok, tetapi memastikan beras tersebut mampu dijangkau oleh masyarakat. Jangan sampai stok cukup, tetapi ditimbun oleh pengusaha nakal dan harganya mahal.
Sayangnya, jaminan ketersediaan pangan itu tidak diwujudkan oleh penguasa hari ini. Hal ini tidak lepas dari sistem kapitalisme yang dianut Indonesia sehingga negara berlepas tangan dengan menyerahkan urusan pemenuhan hajat rakyat pada mekanisme pasar, yang artinya pada swasta sebagai pemain di pasar.
Negara hanya berperan sebagai regulator, seperti satpam yang tugasnya hanya membuka dan menutup portal impor. Apalagi keputusan impor itu ternyata bukan untuk kepentingan rakyat ataupun petani, tetapi para pengusaha yang menangguk untung dari impor. Inilah yang terjadi ketika kita menerapkan sistem kapitalisme.
Di dalam Islam, Sejatinya pangan adalah kebutuhan dasar manusia. Sabda Rasulullah saw…
“Siapa di antara kalian yang berada pada waktu pagi dalam keadaan aman di tempat tinggalnya, sehat jasmaninya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan seluruh dunia ini telah diberikan kepadanya.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Negara sebagai institusi politik yang bertugas melakukan pengurusan urusan rakyat (riayah syu’unil ummah) wajib menjamin pemenuhan kebutuhan pangan bagi rakyatnya. Islam mewajibkan penguasa untuk memastikan tiap-tiap individu rakyat bisa tercukupi kebutuhan pangannya secara layak. Negara tidak hanya wajib memastikan stok pangan aman, tetapi juga memastikan rakyat bisa memperolehnya dengan harga yang terjangkau.
Di dalam kitab Al-Nizham al-Iqtishadi disebutkan bahwa negara harus mewujudkan swasembada penuh dalam komoditas yang penting bagi rakyat. Beras, gandum, jagung, kedelai, dan daging merupakan sebagian komoditas penting tersebut. Oleh karenanya, negara akan mengoptimalkan pertanian dan membangun industri di dalam negeri sehingga kebutuhan pangan bisa tercukupi secara mandiri, tanpa impor sedikit pun.
Terkait swasembada beras, Negara tidak hanya menargetkan tercukupinya kebutuhan dalam negeri, tetapi juga ketahanan pangan pada masa depan untuk mengantisipasi paceklik seperti El Nino dan sekaligus terwujudnya stabilitas harga.
Beberapa langkah negara untuk mewujudkannya adalah sebagai berikut.
Dengan mekanisme tersebut, permasalahan gonjang-ganjing beras akan teratasi dengan baik tanpa harus impor. Namun, solusi ini hanya terealisasi dalam sistem islam (daulah islam). Sementara itu, rezim doyan impor dalam kapitalisme seperti hari ini tidak akan mungkin mampu mewujudkan solusi ini, karena tidak menguntungkan para kapitalis.
Untuk itu sudah saatnya lah kita kembali kepada sistem islam, karena hanya dengan sistem islam lah, seluruh persoalan beras akan teratasi tampa harus impor, kedaulatan pangan pun terwujud, serta semua permasalahan lainnya dapat diatasi. Wallahualam bissawab. (*)
Penulis
Ummu Khadijah
(Tenaga Pendidik)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.
Tidak ada komentar