OPINI—Momentum Isra Mikraj senantiasa bertabur hikmah. Banyak pelajaran dari kisah perjalanan yang tak biasa oleh seorang manusia mulia, teladan sepanjang masa. Dia-lah Rasul terakhir, penutup para nabi, Rasulullah Muhammad saw. Jika bukan karena paradigma keimanan, maka sungguh peristiwa tersebut adalah sesuatu yang di luar nalar manusia, sulit dipercaya.
Jarak yang terbentang dan dalam tempo yang singkat, sangatlah mudah bagi Allah Swt. sebagai Sang Khalik. Memperjalankan hambanya dari Masjidilharam di Makkah ke Masjidilaqsha, Palestina. Selanjutnya naik ke Sidratulmuntaha untuk menerima perintah sholat dan diperlihatkan surga/neraka. Sebuah perjalanan ruhiyah yang begitu mengagumkan dan menjadi pelajaran yang sangat urgen tentang hakikat kepemimpinan.
Sebagaimana dalam QS. Al-Isra ayat 1 yang artinya: “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Ayat di atas menegaskan bahwa peristiwa Isra Mikraj adalah bukan peristiwa biasa. Hal ini setidaknya bisa dianalisis dari dua dimensi, yakni dimensi mukjizat dan dimensi politis. Dimensi yang pertama, yakni mukjizat hanya bisa diyakini oleh orang yang beriman.
Tersebab, jika menurut perhitungan manusia jarak Makkah-Palestina sekitar 1236,19 km. Saat itu dengan menggunakan unta, biasa ditempuh dalam waktu satu bulan pergi dan satu bulan pulang plus bermukim satu bulan. Total 3 bulan lamanya. Sedangkan menurut catatan dalam kitab para ulama, malam itu hanya ditempuh 1/3 malam.
Dimensi kedua, sebagai simbol kepemimpinan global dan sikap yang sesuai fitrah manusia. Mengapa demikian? Karena pada peristiwa tersebut, Nabiullah Muhammad saw. mengimami sholat para Nabi yang lain dan ketika diminta memilih antara susu dan khamar, Beliau memilih susu.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa Rasulullah saw. seorang pemimpin dalam skala global. Selanjutnya sebagai manusia biasa, lebih memilih sesuatu yang baik karena sesuai fitrah manusia.
Berbicara terkait kepemimpinan, rasanya saat ini hampir semua elemen masyarakat fokus pada kontestasi Pemilu 2024 yang baru saja berlangsung. Hiruk pikuk agenda kepartaian tak dimungkiri juga menyeret rakyat ikut arus. Penulis tidak ingin membahas kredibilitas kepemimpinan paslon yang diusung masing-masing parpol. Namun, lebih fokus ke sistem apa yang kelak akan digunakan untuk mengatur negeri ini.
Pasalnya sudah sekian kali ganti pemimpin, tetapi permasalahan negeri ini tak kunjung usai. Bahkan terlihat semakin parah. Kerusakan demi kerusakan terus terjadi di hampir semua lini kehidupan. Tidak lagi memandang usia maupun gender.
Semua terlibas efek kehidupan yang berbasis sekularisme liberalisme akibat penerapan sistem Kapitalisme. Sistem buatan manusia yang cacat dari lahir dan terus mengalami kecacatan dalam penerapannya, karena berbasis kepentingan segelintir orang (oligarki).
Adapun kepemimpinan bisa diklasifikasikan dalam tiga ranah, yaitu keluarga, masyarakat, dan negara. Jika ingin lebih rinci lagi, setiap individu punya kewajiban atas apa yang dipimpinnya. Jika dia laki-laki atau suami, maka dia bertanggung jawab atas kepemimpinannya dalam keluarga. Begitu seterusnya hingga skala negara. Lalu, kepemimpinan seperti apa yang bisa melahirkan kesejahteraan atau perubahan ke arah yang lebih baik?
Sistem yang baik lahir dari Dzat Yang Mahabaik, Dia-lah Allah ‘Azza wa Jalla. Pencipta (Al-Khaliq) sekaligus Pengatur (Al-Mudabbir) alam semesta beserta seluruh isinya. Paling tahu apa yang terbaik buat makhluk-Nya. Seluruh aktivitas hidup bersandar pada syariat-Nya, termasuk dalam hal kepemimpinan.
Pemimpin dalam Islam hakikatnya adalah sebuah amanah, jika tidak ditunaikan akan berdosa. Berfungsi memfasilitasi tegaknya hukum Allah Swt. sehingga muncul ketaatan yang paripurna. Baik buruknya disandarkan pada hukum syarak. Artinya, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang taat pada seluruh syariat-Nya.
Sebagaimana dalam QS. An-Nisa: 59, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Para ulama menafsirkan ayat di atas bahwasanya menaati ulil amri (pemimpin) adalah ketaatan yang bersyarat, yakni pemimpin yang taat kepada Allah dan rasul-Nya. Sehingga sangat jelas sikap kita sebagai seorang muslim ketika memilih figur pemimpin. Dan pemimpin yang demikian hanya bisa diwujudkan dalam sistem yang baik. Sistem yang berlandaskan syariat Islam, yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad saw. beserta para khalifah setelah Beliau wafat.
Sejarah pun telah membuktikan kegemilangan peradaban Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah dalam semua aspek kehidupan. Model pemerintahan sahih (benar) yang memberi kesejahteraan tanpa batas dan tanpa diskriminasi. Dirasakan semua rakyat dan diakui oleh nonmuslim sekalipun. Bahkan peninggalan sejarah peradaban Islam masih dirasakan hingga dalam kehidupan modern saat ini.
Semoga dengan momentum Isra Mikraj akan memberi pemahaman dan penyadaran akan pentingnya kepemimpinan global yang diterapkan dalam sebuah sistem yang baik. Sistem yang akan memberi keberkahan hidup, sehingga tercipta kesejahteraan yang melingkupi langit dan bumi. Wallahualam bis Showab. (*)
Penulis:
Dr. Suryani Syahrir, S.T., M.T.
(Dosen dan Pemerhati Sosial)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.
Tidak ada komentar