JAKARTA—Ketua KPU Hasyim Asyari, mencatat sedikitnya 1.113 tempat pemungutan suara (TPS) mengadakan pemungutan suara ulang (PSU), pemungutan suara lanjutan (PSL) dan pemungutan suara susulan (PSS).
Dari jumlah tersebut Hasyim di Kantor KPU, Jakarta, Selasa sore (27/2/2024) merinci PSU ada pada 738 TPS, kemudian jumlah PSL 117 TPS, PSS 258 TPS. Jadi total TPS yang telah menyelenggarakan PSU, PSL dan PSS itu ada 1.113 TPS.
Hasyim menuturkan ribuan TPS ini tersebar di 38 provinsi, 229 kabupaten/kota, 430 kecamatan dan 560 desa/kelurahan. Adapun pelaksanaannya mulai 15-27 Februari 2024.
Menurutnya, ada beberapa faktor mengapa pemungutan suara harus kembali dilakukan, yakni di antaranya masalah administratif, bencana alam, logistik, dan keamanan.
“Kalau PSU ini sebagian besar itu berdasarkan rekomendasi dari Panwas dan juga Bawaslu. Berdasarkan itu kemudian dibuat kajian dan teman-teman yang memutuskan apakah dilakukan PSU atau tidak adalah KPU kabupaten/kota setempat. Sehingga dengan begitu KPU kabupaten/kota yang melaksanakan PSU itu tentu harus melalui proses diskusi dengan Bawaslu. Situasinya bagaimana dan seterusnya termasuk soal batas akhir PSU adalah 10 hari setelah hari pemungutan suara,” jelasnya.
Pemungutan Suara Ulang di Kuala Lumpur pada 9-10 Maret
Dalam kesempatan ini, Hasyim menyebut rencana pemungutan suara ulang (PSU) di Kuala Lumpur, Malaysia, termasuk ke dalam kategori luar biasa. Hal tersebut karena PSU di Kuala Lumpur harus digelar melebihi batas waktu 10 hari setelah pemungutan suara.
“Khusus untuk situasi yang pemungutan suara Kuala Lumpur, saya bicara batas waktunya dulu ya. Ini termasuk kategori yang luar biasa,” tuturnya tanpa merinci lebih lanjut.
Ditambahkannya, saat melangsungkan pemungutan suara ulang (PSU) banyak yang harus dipersiapkan mulai dari pemutakhiran data ulang daftar pemilih, hingga kesiapan logistik.
Dalam banyak kasus seringkali rekomendasi dari Bawaslu untuk dilakukan PSU di sebuah TPS datang sehari sebelum pelaksanaan (H minus 1), atau bahkan setelah batas akhir sepuluh hari setelah pemungutan suara. Oleh karena itu dalam beberapa kasus, ketentuan perundang-undangan mengenai batas waktu maksimum PSU tidak berlaku.
“Itu sudah kita bicara dengan Bawaslu, bagaimana landasan hukum yang tetap untuk melaksanakan pemungutan suara yang melampaui batas waktu tersebut karena mulai dari pemutakhiran data pemilih,” ujar Hasyim.
KPU berencana melakukan PSU di Kuala Lumpur, Malaysia, pada tanggal 9-10 Maret dengan metode kotak suara keliling (KSK) dan metode Tempat Pemungutan Suara (TPS). Hasyim berharap pada 12 Maret sudah didapatkan rekapitulasi hasil penghitungan suara dari PPLN Kuala Lumpur, untuk melengkapi laporan rekapitulasi untuk pemilu luar negeri.
Perludem: “Human Error” Penyebab Pemungutan Suara Ulang, Susulan dan Lanjutan
Ihsan Maulana, peneliti di Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai salah satu faktor mengapa KPU melakukan PSU, PSS dan PSL karena human error.
Menurutnya, KPU gagal dalam melakukan mitigasi risiko dan minimnya pengetahuan terhadap teknis administrasi kepemiluan.
“Saya ambil contoh, kisruh pemilu di Kuala Lumpur itu kenapa diulang, karena daftar pemilih yang ditetapkan oleh PPLN bermasalah yang akhirnya KPU memberhentikan PPLN di Kuala Lumpur. Atau misalnya di beberapa daerah, pemungutan suara ulang itu juga karena KPU-nya gagal untuk memahami mana sebetulnya pemilih yang bisa menggunakan hak pilihnya sebagai DPP, atau DPTB, atau DPK, atau juga pemilih yang sebetulnya tidak berhak memilih, tapi menggunakan hak pilihnya,” ungkap Ihsan.
Meski begitu, Ihsan menekankan bahwa permasalahan yang terjadi dalam pemilu 2024 ini tidak bisa dibandingkan dengan pemilu di 2019, karena pada waktu itu KPU pertama kali melakukan pemilu serentak; yang justru lebih baik persiapannya.
“Artinya kalau dalam pemahaman publik, harusnya KPU jauh lebih siap. Apalagi undang-undangnya sama, kerumitan penyelenggaraan pemilunya sama. Dan kalau kita lihat komisioner KPU dan Bawaslu RI hari ini sebagian besar adalah mereka yang melaksanakan pemilu dengan lima surat suara di tahun 2019,” tuturnya.
Lebih jauh Ihsan menyesalkan sikap penyelenggara pemilu yang seperti tidak belajar dari apa yang dilakukan penyelenggara sebelumnya.
“Jadi harusnya mereka sudah punya bayangan, gambaran soal mitigasi apa yang harus dilakukan. Tapi ternyata mereka gagal memitigasi itu. Ya akhirnya tadi ribuan TPS yang harus melakukan pemungutan suara ulang, lanjutan, dan susulan. Jadi kalau mau dikatakan misalnya apakah memang ada penurunan soal perbaikan teknis administrasi? Tentu ada,” jelas Ihsan.
Terganggunya proses rekapitulasi manual berjenjang yang dilakukan oleh KPU masih menurut Ihsan merupakan dampak nyata pemungutan suara setelah 14 Februari. KPU dikhawatirkan tidak dapat menyelesaikan proses rekapitulasi itu sesuai tenggat yang ditetapkan dalam UU Pemilu..
“Bayangkan, harusnya tanggal 1 dan 2 di minggu ini proses rekapitulasi di tingkat kecamatan itu harusnya selesai. Tapi karena masih ada PSU, PSL, dan juga pemilu susulan, itu pasti akan terganggu proses rekapitulasi manual berjenjangnya. Maka akan berdampak juga secara bertingkat ke atas sampai dengan penetapan suara secara nasional. Padahal KPU harusnya 35 hari selesai dan mengumumkan penetapan hasil perolehan suara secara nasional,” tambahnya.
Belum lagi jika KPU tidak serius melaksanakan PSU, PSS dan PSL; yang berpotensi membuat pemungutan suara jilid kedua.
“Dan ujungnya nanti khawatir akan bermuara ke Makam Konstitusi (MK) dan publik akan bertanya, ini gimana sebetulnya penyelenggaran pemilunya, sudah ada tenggat waktunya, KPU kapan harus selesai, tapi mereka tidak bisa menyelesaikan itu,” pungkasnya. [gi/em/VOA/AG4Ys]
Tidak ada komentar