Kepala bedah ortopedi di Rumah Sakit Al-Ahli al-Arabi di Gaza, Fadel Naim, baru saja menyelesaikan operasi ketika dia mendengar suara dentuman ledakan dahsyat. Dalam sekejap departemennya dipenuhi orang-orang yang berteriak minta tolong.
“Orang-orang berlarian ke bagian bedah sambil berteriak ‘tolong kami, tolong kami’. Ada orang yang tewas dan terluka di dalam rumah sakit,” katanya.
“Rumah sakit itu penuh dengan korban tewas dan luka-luka, mayat-mayat yang terpotong-potong,” katanya. “Kami mencoba menyelamatkan siapa pun yang bisa diselamatkan, tetapi jumlahnya terlalu banyak untuk tim rumah sakit.”
Ledakan yang mengguncang rumah sakit itu pada Selasa (17/10) menewaskan ratusan warga Palestina dan menggagalkan misi diplomatik Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden. Biden tiba di Israel pada Rabu (18/10), untuk menurunkan eskalasi wilayah tersebut, tetapi para pemimpin negara Arab membatalkan pertemuan puncak darurat tersebut.
Para pejabat Palestina menyalahkan Israel sebagai pelaku ledakan tersebut. Sementara Israel mengatakan ledakan itu disebabkan oleh kegagalan peluncuran roket yang dilakukan kelompok militan Jihad Islam Palestina, tetapi mereka membantah bertanggung jawab.
Dokter Ibrahim Al-Naqa bangga dengan rumah sakit baptis yang berusia 100 tahun. Di wilayah konflik, mereka menerima semua agama dan menyediakan gereja dan masjid untuk pasiennya.
Pada Selasa (17/10), orang-orang yang mencari perlindungan dari pertempuran paling sengit antara militer Israel dan kelompok militan Palestina Hamas berusaha menyelamatkan diri ke rumah sakit. Namun, pergi ke rumah sakit itu malah mengantarkan mereka kepada kematian.
Darah mengotori dinding dan tanah di tempat yang biasanya tenang dan membantu pasien pulih.
“Tempat ini menciptakan tempat berlindung yang aman bagi perempuan dan anak-anak, mereka yang lolos dari pengeboman Israel ke rumah sakit ini, mereka yang melihat tempat ini sebagai tempat berlindung yang aman,” kata Naqa.
“Tanpa peringatan, rumah sakit ini menjadi sasaran. Kami tidak tahu apa sebutan dari peluru tersebut, tetapi kami melihat akibat yang ditimbulkan ketika peluru tersebut menargetkan anak-anak dan mencabik-cabik tubuh mereka.”
Jumlah korban tewas akibat ledakan di rumah sakit sejauh ini merupakan yang tertinggi dari semua insiden di Gaza selama kekerasan yang terjadi saat ini, dan terjadi protes di Tepi Barat yang diduduki dan wilayah yang lebih luas, termasuk di Yordania dan Turki.
Dokter asal Inggris-Palestina, Ghassan Abusittah, mengatakan rumah sakit terguncang sepanjang hari karena aksi pemboman itu. Dia mendengar suara desingan rudal sesaat sebelum ledakan besar dan kemudian langit-langit ruang operasi runtuh menimpa dirinya dan dokter lainnya. Di halaman rumah sakit, dia bisa melihat tubuh dan anggota tubuh berceceran di mana-mana. Dia merawat seorang pria yang kakinya patah.
Abusittah mengatakan sistem medis di Gaza runtuh, dan para dokter berjuang keras untuk mendapatkan sumber daya. “Kami kehabisan tenaga. Jumlah pasien terus bertambah,” katanya.
Ledakan tersebut makin mengobarkan krisis di wilayah tersebut setelah Hamas, yang menguasai Jalur Gaza, melancarkan serangan lintas batas terhadap masyarakat di Israel selatan pada 7 Oktober yang menewaskan sedikitnya 1.300 orang dan menyandera sejumlah orang.
Israel membalasnya dengan serangan udara terberat yang pernah terjadi di Jalur Gaza yang diblokade dan mengerahkan pasukan serta tank di perbatasannya.
Militer Israel pada Rabu (18/10) menerbitkan apa yang mereka gambarkan sebagai bukti bahwa roket Palestina yang salah sasaran menyebabkan ledakan di rumah sakit. Hamas mengatakan itu adalah serangan udara Israel dan juru bicara Jihad Islam menolak tuduhan Israel sebagai “kedok untuk membenarkan melakukan pembantaian terhadap warga sipil Palestina.”
Sebelum insiden ledakan di rumah sakit itu, otoritas kesehatan di Gaza mengatakan sedikitnya 3.000 orang tewas dalam 11 hari pengeboman Israel.
Kehancuran rumah sakit sangat mengerikan bahkan jika dibandingkan dengan 12 hari terakhir, yang telah memperlihatkan dunia tentang gambaran warga Israel yang terbunuh di rumah mereka dan kemudian tentang keluarga Palestina yang terkubur di bawah reruntuhan akibat serangan balasan Israel.
Juru bicara Kementerian Kesehatan Gaza, Ashraf Al-Qidra, mengatakan 471 warga Palestina tewas dan lebih dari 314 luka-luka di rumah sakit.
“Pembantaian yang dilakukan oleh pendudukan Israel di Rumah Sakit Baptist adalah pembantaian abad ke-21 dan merupakan kelanjutan dari kejahatannya sejak Nakba rakyat kami pada 1948,” kata Salama Marouf, kepala kantor media pemerintah Hamas.
“Nakba”, atau “bencana”, mengacu pada saat banyak warga Palestina melarikan diri atau terpaksa meninggalkan rumah mereka selama perang pada1948 yang menyertai berdirinya Israel. [ah/ft]
Tidak ada komentar