Para pemimpin Masyarakat Adat Australia pada Minggu (15/10) menyerukan keheningan dan perenungan selama satu pekan setelah hasil referendum menunjukkan mayoritas masyarakat negara itu menolak untuk mengakui hak masyarakat adat atau Bangsa Pertama (First Peoples) dalam konstitusi.
Lebih dari 60 persen warga Australia memilih “Tidak” dalam referendum bersejarah yang digelar pada Sabtu (14/10), yang merupakan referendum pertama di Australia selama hampir seperempat abad.
Referendum itu menanyakan kepada pemilih apakah setuju mengubah konstitusi negara untuk mengakui hak suku Aborigin dan masyarakat Kepulauan Selat Torres melalui pembentukan badan penasihat Masyarakat Adat, “Suara untuk Parlemen.” Badan penasihat itu bisa memberi masukan kepada parlemen Australia mengenai berbagai isu terkait komunitas Masyarakat Adat.
Hasil referendum itu menandai kemunduran besar upaya rekonsiliasi dengan komunitas Masyarakat Adat di negara itu. Ditambah lagi, hasil itu merusak citra Australia di dunia tentang bagaimana negara itu memperlakukan warga dari Bangsa Pertama.
Bangsa Pertama merujuk kepada kelompok masyarakat yang nenek-moyangnya sudah ada di Benua Amerika atau Australia jauh sebelum kedatangan orang-orang Eropa.
Tidak seperti bangsa-bangsa lain dengan sejarah yang sama, seperti Kanada dan Selandia Baru, Australia belum secara remsmi mengakui atau mencapai kesepakatan dengan Bangsa Pertamanya.
Masyarakat suku Aborigin dan Kepulauan Selat Torres menyumbang 3,8 persen dari total jumlah penduduk Australia yang mencapai 26 juta jiwa dan telah menghuni negara itu selama 60 ribu tahun. Namun, komunitas itu tidak tercantum di dalam konstitusi Australia dan berdasarkan sebagian besar ukuran sosial-ekonomi, mereka adalah kelompok yang paling dirugikan.
“Ini adalah ironi yang pahit. Orang-orang yang baru menghuni benua ini selama 235 tahun menolak mengakui mereka yang sudah tinggal di tanah ini selama 60 ribu tahun dan lebih lama adalah di luar nalar,” kata para pemimpin dalam pernyataannya yang di rilis ke media sosial.
Para pemimpin mengatakan mereka akan mengibarkan bendera Aborigin dan Kepulauan Selat Torres setengah tiang untuk pekan ini dan menyerukan lainnya untuk melakukan hal yang sama.
Jade Ritchie, yang berkampanye untuk pilihan ‘Ya’ setelah hasil referendum keluar pada Sabtu (14/10) mengatakan seluruh negara harus berduka atas hilangnya kesempatan.
“Kita pernah punya kesempatan untuk melakukan perubahan nyata,” kata Jade kepada Reuters.
“Kesenjangan ini, ketidakberuntungan ini, pencabutan hak seluruh bagian masyarakat kita…. kita membicarakan hal ini sepanjang waktu dan pemerintah demi pemerintah mencoba untuk mengatasi masalah ini dan di sinilah kita dengan proposal yang sangat moderat dan adil serta a cara praktis ke depan, dan itu tidak diterima.”
Diyakini tak bawa perubahan
Kantor berita AFP melaporkan, meski mayoritas warga Aborigin Australia mendukung referendum, sebagian menentangnya karena dipandang sebagai indikasi yang tidak akan membawa perubahan berarti.
Warren Mundine, seorang warga Masyarakat Adat, yang mendukung penolakan referendum mengatakan kepada stasiun televisi ABC pada Minggu (15/10) bahwa dia bersyukur referendumnya gagal.
Kampanye dari oposisi kerap menakut-nakuti tentang peran dan keefektifan dewan the “Voice” dan mendorong orang-orang untuk memilih “tidak” jika mereka tidak yakin.
Perdebatan juga disertai dengan disinformasi yang menunjukkan seolah-olah “Voice” akan berujung pada perampasan lahan, menciptakan sistem apartheid seperti di Afrika Selatan atau bahwa bagian dari plot Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dukungan bipartisan absen
Perdana Menteri Anthony Albanese mempertaruhkan modal politik yang signifikan pada referendum hak suara Masyarakat Adat atau the Voice. Namun para pengkritiknya mengatakan ini adalah kesalahan terbesarnya sejak ia berkuasa pada Mei tahun lalu.
Pemimpin Oposisi Peter Dutton mengatakan referendum itu adalah pemungutan suara “yang tidak dibutuhkan oleh Australia” dan hanya mengakibatkan perpecahan.
Salah satu alasan terbesar kegagalan referendum itu adalah tidak adanya dukungan bipartisan. Apalagi, para pepimpin partai konservatif besar mengkampanyekan suara penolakan atau ‘Tidak.’
Belum pernah ada referendum di Australia yang berhasil diloloskan tanpa dukungan bipartisan.
Aktivis dan cendekiawan Aborigin, Marcia Langton, mengatakan kerja selama puluhan tahun untuk membangun rasa percaya di kalangan warga Australia telah gagal.
“Rekonsiliasi sudah mati,” kata Langton kepada sebuah stasiun TV masyarakat adat seperti dikutip dari kantor berita AFP. [ft/ah]
Tidak ada komentar