OPINI—Pesta demokrasi tinggal menghitung hari. Kesibukan sudah terasa sejak dua tahun sebelumnya. Para politisi sibuk dengan agenda kepartaian. Tak ketinggalan para pejabat yang ingin kembali menduduki “kursi panas” tersebut. Jabatan yang masih menjadi primadona dalam sistem politik demokrasi. Lalu, bagaimana posisi pemuda dalam pesta lima tahunan ini?
Seperti dilansir dari laman sulsel.idntimes.com bahwa pemuda dalam kategori kelompok milenial dan Gen Z mendominasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) Sulsel. Komposisinya yaitu kelompok milenial (kelahiran 1981-1996) sebanyak 2.049.357 atau 30,72 persen dari total daftar pemilih. Berikutnya, Gen Z (1997-2012) sebanyak 1.383.715 atau 20,74 persen. Angka ini cukup mewakili keterlibatan pemuda dalam kontestasi Pemilu 2024.
Hiruk pikuk agenda demi meraup suara rakyat. Para kontestan dan relawan masing-masing parpol sibuk mencari simpati. Pemuda sebagai pihak independen tentu saja sangat potensial sebagai basis suara. Tak heran bila peluang tersebut dimainkan oleh salah satu kandidat Capres Cawapres saat ini. Jadilah dunia digital dipenuhi tontonan bernuansa pemuda yang dibumbui gimik dan hal-hal lainnya, seolah menegasikan etika.
Tak dimungkiri, beraneka agenda sosial kemasyarakatan akhirnya terinfiltrasi dengan agenda parpol. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampuai. Pepatah ini cukup mewakili aktivitas para politisi saat ini. Aroma dinasti politik pun tercium sangat tajam; baik skala kabupaten/kota, provinsi, maupun senayan. Inilah magnet kekuasaan dalam sistem Kapitalisme. Di mana materi menjadi standar kebahagiaan dan prestise masyarakat.
Pemuda seyogianya menjadi agen perubahan hakiki. Perubahan mendasar yang memberi kesejahteraan untuk semua kalangan, bukan saja untuk dirinya. Tersebab dalam diri pemuda terangkum keseluruhan potensi positif. Seperti keberanian, fisik yang kuat, semangat membaja, dan sejenisnya. Bahkan sebuah peradaban gemilang terlahir dari ketangguhan sosok yang diberi label pemuda. Namun, sangat disayangkan kondisi pemuda hari ini seolah dijauhkan dari perkara tersebut.
Potret pemuda hari ini sungguh sangat menyedihkan. Mereka teraruskan hanya pada hal-hal seputar kehidupan hedonis. Wajar jika dalam diri mereka tumbuh sifat konsumerisme. Parahnya lagi, karena pondasi iman yang kurang atau bahkan tidak kokoh, menjadikan mereka rela melakukan apa saja demi memenuhi hasratnya. Menjamurlah judi online, pinjaman online (Pinjol). Bahkan pada hal-hal yang diharamkan dalam agama, seperti prostitusi atau berzina.
Kerusakan di atas hanya segelintir. Lalu dengan kondisi demikian, pemuda sangat mudah digiring pada hal-hal yang menghasilkan cuan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa politik dalam demokrasi masih seputar money politic. Sehingga, pemuda menjadi sasaran empuk untuk mendulang suara. Sangat wajar bila berbagai upaya dilakukan pihak-pihak yang berkepentingan, untuk memenuhi tujuan tersebut.
Padahal, pesta demokrasi di negeri ini sudah berulang kali memperlihatkan kebobrokannya. Namun, rakyat seolah amnesia. Terlebih dengan kondisi pemuda saat ini. Jadilah pemuda seakan dibajak potensinya. Tak lagi bersuara lantang ketika kerusakan demi kerusakan terus terjadi di berbagai sektor. Sikap kritisnya melemah ketika dihadapkan pada imin-iming materi. Walau itu mencederai konstitusi.
Inilah buah dari penerapan sistem Kapitalisme dengan demokrasi sebagai sistem politiknya. Sebuah sistem politik yang cacat dari lahir. Berkamuflase dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Faktanya, hanya melahirkan hukum yang berlandaskan kepentingan segelintir orang (oligarki). Berkelindan antara penguasa dan pengusaha (korporasi). Jika demikian, sistem politik seperti apa yang bisa memaksimalkan seluruh potensi pemuda dalam melahirkan perubahan hakiki?
Islam adalah sebuah agama sekaligus ideologi (mabda). Implementasinya sudah dicontohkan 14 abad yang lalu oleh manusia mulia, Rasulullah Muhammad saw. dan dilanjutkan oleh para sahabat sepeninggal Beliau. Masyhur dalam kitab-kitab para ulama, yakni Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, Amirul Mukminin Umar bin Khattab, Khalifah Utsman bin Affan, dan Imam Ali bin Abi Thalib.
Ideologi Islam mencakup ide dasar (fikroh) dan metode penerapannya (thoriqoh). Jadi, bukan sekadar istilah. Paripurnanya sistem politik Islam tercermin dari pengaturannya dalam seluruh aspek kehidupan. Mulai dari urusan individu rakyat hingga politik luar negeri. Lalu, dimana peran pemuda?
Mari sejenak melihat definisi pemuda dalam Islam yang sangat unik. Tidak sekadar dikategorikan dalam nominal usia, tetapi dari aspek kesiapan mental mengemban tanggung jawab sebagai seorang pribadi muslim. Istilah akil baligh adalah istilah yang lebih tepat disematkan kepada sosok yang disebut pemuda saat ini. Dimana fase ini adalah masa taklif (terbebani hukum syarak) seorang muslim. Insyaallah mereka sudah mampu dan matang secara fisik dan mental.
Meneropong komprehensifnya sistem Islam dalam mencetak generasi emas. Dimulai dari ranah keluarga. Institusi terkecil dari sebuah negara ini, memegang peranan sangat urgen. Pondasi akidah Islam yang kokoh ditanamkan dari orang tua yang bertakwa, yang menyadari peran dan amanahnya sebagai pencetak generasi mumpuni. Terkhusus ibu sebagai sekolah pertama dan utama. Pun peran ayah tak kalah penting dalam memenuhi kebutuhan pokok anggota keluarga, termasuk anak dan istri.
Peran tersebut di-support penuh oleh negara sebagai amanah yang dibebankan oleh syariat. Instrumen negara dalam menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat begitu luar biasa. Diantaranya, negara membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi para laki-laki (ayah dan atau wali) demi memenuhi kewajibannya sebagai penanggung jawab penafkahan.
Saat yang sama, kebutuhan pokok lainnya pun dipenuhi. Ada kebutuhan pokok individu (pangan, sandang, dan papan/perumahan), ada pula kebutuhan pokok publik (kesehatan, pendidikan, dan keamanan). Jaminan keseluruhan kebutuhan pokok ini diback-up oleh pendanaan yang dikelola secara mandiri dan independen melalui Baitul Mal. Dari sini, tergambar jelas pelayanan penguasa kepada rakyatnya.
Lihatlah generasi emas yang terlahir dalam peradaban Islam. Generasi sekaliber Imam Asy Syafi’i, di usianya yang masih sangat muda, 15 tahun dipercaya oleh Ulama besar Makkah untuk memberikan fatwa kepada masyarakat. Di usia yang sama, Harun Ar Rasyid memimpin puluhan ribu pasukan muslimin untuk membebaskan Benteng Samalou milik Romawi. Setelah 38 hari pengepungan, akhirnya sukses dibebaskan. Setelah itu beliau dipercaya menjadi Gubernur Azerbaijan dan Armenia.
Siapa yang tak mengenal Muhammad Al Fatih atau Sultan Mehmed II, sang penakluk Konstantinopel. Di usia 21 tahun menaklukkan Konstantinopel (Istanbul, Turki) ibukota Romawi Timur (Byzantium), dan masih banyak lainnya. Sederet nama-nama pemuda muslim tertoreh dengan tinta emas dalam membangun peradaban manusia di semua aspek kehidupan. Tervalidasi secara historis dan empiris.
Beginilah secuil gambaran sistem Islam yang diterapkan dalam sebuah negara. Meniscayakan terlahir pemuda tangguh yang akan mengisi peradaban mulia. Sistem yang aturannya bersumber dari Sang Pencipta, Allah ‘Azza wa Jalla. Sistem mumpuni yang telah terbukti 13 abad mampu memberi kesejahteraan tanpa batas. Wallahualam bis Showab. (*)
Penulis:
Dr. Suryani Syahrir, S.T., M.T.
(Dosen dan Pemerhati Sosial)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.
Tidak ada komentar