Menimbang Visi Misi Capres-Cawapres dalam Masalah Stunting Generasi

HAK SUARA
11 Feb 2024 01:42
Ragam 0 94
7 menit membaca

OPINI—Sewaktu tugas di UGD di salah satu RSIA Kota Makassar saya kedatangan Pasein anak usia 6 bulan datang di bawa oleh ibunya dengan keluhan batuk pilek dan bab encer, memang waktu itu sedang musim diare namun ada hal lain yg menyita perhatianku, berat badan anak ini hanya 3,7 Kg, sangat jauh dari berat badan normal anak seusianya.

Sebenarnya ini bukan kasus masalah gizi pertama yang ku temui apalagi tempatku bekerja berada di sekitar wilayah dengan mayoritas masyarakat menengah ke bawah.

Tidak jarang saya dapati keluarga pasien yang bahkan belum bisa membaca, fakta yang sangat kontras dengan program Smart City Kota Makassar, Kotanya mau di cerdaskan sedangkan penduduknya masih ada buta aksara. Bagaimana masalah gizi bisa terselesaikan bila masyarakat masih kurang literasi dan edukasi termasuk lemah secara ekonomi itu semua faktor yang mempengaruhi.

Masalah gizi bukan hanya persoalan postur tubuh anak, melainkan berkaitan erat dengan kualitas generasi di masa depan. Status gizi berkaitan dengan daya tahan tubuh anak terhadap penyakit, gizi kurang membuat rentan terkena infeksi sedangkan malnutrisi seperti obesitas rentan terhadap penyakit degeneratif.

Dampak stunting juga berhubungan dengan perkembangan otak, Anak-anak yang stunting beresiko mengalami IQ lebih yang rendah sehingga mempengaruhi performa akademik, tak hanya itu, anak dengan stunting juga cenderung mengalami keterlambatan dalam perkembangan bahasa dan motorik halus. Maka wajar bila masalah stunting menjadi prioritas masalah nasional sebab masa depan bangsa ada pada generasi penerus berikutnya.

Penanganan stunting atau masalah gizi generasi bukan hanya tugas para orang tua saja melainkan sangat berkaitan dengan kebijakan suatu negara, di bulan-bulan politik ini perlu kiranya menganalisis sejauh mana program capres-cawapres dalam upaya penanganan masalah gizi bagi generasi.

Dalam visi misi capres-cawapres no urut 1, pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar yang disingkat AMIN menawarkan program pendampingan ibu hamil hingga 1000 hari pertama kehidupan anak. Penurunan angka prevalensi yang ditargetkan antara 11-12,5%.

Sementara itu, pasangan capres-cawapres no 2 Prabowo-Gibran hendak menekan prevalensi angka stunting hingga di bawah 10%. Paslon yang tenar dengan goyang gemoy ini menawarkan program bantuan gizi pada ibu hamil dan balita, pemberian makan siang dan susu tiap hari bagi anak-anak sekolah, serta Kartu Anak Sehat.

Sedangkan pasangan capres-cawapres Ganjar-Mahfud menawarkan program 1.000 hari pertama dan pasokan gizi untuk anak hingga usia 5 tahun. Paslon no urut 3 ini mengunggulkan program lainnya yakni 1 Desa 1 Puskesmas 1 Dokter/Nakes. Targetnya untuk menurunkan prevalensi stunting hingga di bawah 9%.

Stunting di Indonesia sendiri masih mencapai 21,6% tahun 2022 terjadi penurunan dibandingkan tahun 2021 yang menempati angka 24,4% meskipun begitu masih saja belum mencapai standar WHO yang menetapkan prevalensi stunting dibawah 20% (sehatnegeriku.kemkes.go.id, 25 jam 2023)

Apalagi bila menargetkan angka stunting jauh dibawah 20% dibutuhkan upaya yang lebih besar lagi. Sayangnya pasangan capres-cawapres nomor urut 1 nampaknya tidak banyak Inovasi dalam visi misinya, kurang lebih hanya melanjutkan program yang sudah berjalan.

Adapun pasangan Prabowo-Gibran sangat santer dengan program makan siang gratis dan susu gratis dalam penanganan stunting padahal fenomena stunting merupakan akibat dari masalah yang kompleks, bukan hanya sekedar persoalan kesehatan melainkan lintas sektoral.

Pemenuhan gizi seimbang dalam keluarga sangat erat kaitannya dengan kondisi fasilitas kesehatan, ekonomi dan pendidikan. Maka menyederhanakan Penanganan stunting hanya dengan memberikan makanan praktis tidak bisa menyelesaikan masalah dengan komperhensif, apalagi hanya mengandalkan susu, susu merupakan minuman yang baik tapi bukan minuman ajaib yang bisa langsung mengatasi masalah stunting faktanya ditemukan prevalensi intoleransi laktosa pada anak rutin dan tidak rutin minum susu sebesar 56,2% dan 52,1 %. (ojs.unida.ac.id April 2022)

Justru jika diberikan kepada orang yang mengalami intoleransi akan menimbulkan peradangan pada saluran cernanya pada akhirnya menyebabkan sakit dan penyerapan nutrisi tidak optimal, belum lagi susu olahan kebanyakan mengandung kadar gula tinggi yang justru buruk untuk kesehatan generasi.

Lagipula sasaran makan siang gratis bila ditujukan untuk anak usia sekolah sudah tidak relevan dengan penanganan stunting sebab berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia Kementerian Kesehatan, mayoritas kasus stunting di Indonesia ditemukan pada anak rentang usia 24-35 bulan.

Tak jauh berbeda paslon Ganjar-Mahfud dalam penanganan stunting menekankan pada pemberian pasokan gizi saja tanpa mengaitkan aspek-aspek non-kesehatan lainnya terkait dengan masalah ekonomi dan literasi.

Selain itu paslon nomor urut 3 ini juga menjanjikan ketersediaan 1 nakes ditiap desa. Fasilitas kesehatan ditengah-tengah masyarakat memang masalah krusial, hanya saja faktanya distribusi tenaga kesehatan sulit dilakukan karena banyak faktor yang membuat nakes enggan mengabdi di wilayah-wilayah terpencil.

Masalah akses informasi, keamanan, ketidaksetaraan pendidikan, dan kurangnya pembangunan serta fasilitas kesehatan yang tidak memadai di wilayah terpencil menjadi faktor yang membuat mengabdi di sana kurang minati.

Menyelesaikan masalah stunting dimulai dari 1000 hari pertama kelahiran artinya sejak bayi didalam kandungan maka pendamping ibu hamil menjadi hal yang sangat krusial, bahkan sejak remaja para perempuan perlu dibekali suplementasi zat besi agar tidak anemia.

Sebenarnya bila kebutuhan nutrisi tercukupi dengan makanan bergizi maka tak perlu suplementasi, hanya saja pada faktanya di negeri ini membutuhkan subsidi suplementasi zat besi karena problem kemiskinan yang masih tinggi, sehingga penuntasan kemiskinan jadi salah satu pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan untuk menurunkan angka stunting.

Selain itu masalah sarana dan prasarana akses kesehatan maupun infrastruktur wilayah juga cukup berpengaruh. Contohnya saja di kabupaten Pangkep dengan kondisi geografis wilayah yang terdiri dari banyak pulau menjadi tantangan tersendiri untuk bisa memaksimalkan layanan kesehatan.

Kepala puskesmas di Pulau Sapuka, Hj.Surianti Sattuang menuturkan, jika Puskesmas tempat dirinya bekerja, masih membutuhkan bantuan penambahan tenaga medis dan prasarana.

Seorang pasien yang telah ditangani Puskesmas Sapuka meninggal dunia saat ingin dirujuk ke Makassar, sebab mengalami hipertensi dan sesak nafas.

Hal itu karena Puskesmasnya berada di pulau terluar, dengan 15 pulau-pulau yang harus dilayani dengan jarak tempuh 2 sampai 8 jam belum lagi cuaca terkadang menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan proses pelayanan menjadi lamban. Jangankan mencegah stunting untuk menurunkan angka Kematian Ibu dan Anak juga sulit dengan kondisinya seperti ini.

Sayangnya sistem ekonomi kapitalisme alih-alih menyelesaikan problematika kemiskinan malah sistem ini menjadikan jurang si miskin dan si kaya semakin menganga. Sumber daya alam yang kaya malah dijadikan aset milik mereka yang punya banyak dana.

Dalam aturan sistem demokrasi kapitalisme halal hukumnya memberikan SDA kepada swasta, penguasaan swasta terhadap SDA dianggap hal positif karena bisa membuka peluang tenaga kerja padahal sebenarnya kita telah terjajah menjadi kacung dengan menggelar karpet untuk asing sebagai bos di negeri sendiri. Di lain sisi sistem ekonomi kapitalisme malah menjadikan utang dan pajak sebagai tulang punggungnya sehingga menyebabkan rakyat makin terbebani.

Dalam Islam penanganan stunting tidak hanya berfokus pada sektor kesehatan tetapi dimulai dari menciptakan kondisi kesejahteraan ekonomi.

Rasulullah bersabda “Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api” (HR. Abu Dawud). Maksud dari hadis tersebut adalah syariat telah menetapkan air seperti laut dan kandungannya, padang rumput yakni hutan maupun pulau, dan api yakni sumber energi seperti minyak bumi dan gas semua itu sebagai harta kepemilikan umum yang wajib dikelola oleh negara untuk kepentingan masyarakat, potensi SDA Indonesia yang melimpah jelas akan menjadi berkah dan jalan menuju sejahtera bila dikelola sesuai syariah.

Selain itu lewat pengelolaan kewajiban zakat perputaran harta dari si kaya kepada si miskin akan membuat roda perekonomian bergerak, pengentasan kemiskinan akan jadi jalan mencegah stunting karena masyarakat memiliki cukup biaya untuk membeli bahan pangan layak dan bergizi.

Selanjutnya negara punya kewajiban untuk memaksimalkan pemerataan pembangunan tidak sebagaimana pembangunan ala kapitalisme yang hanya berfokus pada pembangunan kota karena potensi cuannya.

Pembangunan dalam Islam berorientasi pada kepentingan rakyat karena dasar pembiayaannya bukan pada investasi swasta melainkan dari harta baitul mal salah satunya sumbernya dari pengelolaan sumber daya alam.

Terakhir peningkatan literasi tentang gizi juga menjadi manajemen yang dikelola oleh negara khususnya penguatan kepada kader-kader posyandu yang langsung bersentuhan dengan masyarakat.

Subsidi makanan dari negara untuk masyarakat sah-sah saja dilakukan asal memang berdasarkan evidence based medicine bukan hanya karena ikut ikutan terhadap negara lain.

Kesimpulannya masalah stunting bukan sekadar problem teknis melainkan masalah ideologis tata laksananya perlu memperhatikan perubahan yang lebih fundamental dibandingkan sekedar usulan program-program tanpa mempertimbangkan perbaikan sektor non kesehatan khususnya ekonomi dan politik negara. (*)

 

Penulis:
dr. Ratih Paradini
(Dokter Umum, Penulis)

 

***

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

Kerlas Kerja

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

x
x
x