Naiknya Indeks Pembangunan Gender, Apakah Sesuai Fitrah Perempuan?

HAK SUARA
11 Jan 2024 21:43
Ragam 0 138
5 menit membaca

OPINI—Makhluk manusia yang bernama perempuan menjadi sorotan dari tahun ke tahun. Bukan hanya pertahun bahkan sampai perdetik pada skala dunia. Sosok perempuan memang tidak ada habisnya dalam perbincangan, namun sayang mayoritas perbincangan tersebut lebih ke arah dimana perempuan selalu menjadi pemain yang terintimidasi. Berbeda halnya yang disebutkan oleh beberapa orang. Bahwa dari tahun ke tahun perempuan makin berdaya dengan melihat patokan meningkatkan Indeks gender.

Perempuan dianggap semakin berdaya dengan meningkatnya Indeks Pembangunan Gender. Seperti yang telah diungkapkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyatakan bahwa selama 2023, perempuan semakin berdaya yang ditunjukkan dengan meningkatnya Indeks Pembangunan Gender (IPG).

Deputi Bidang Kesetaraan Gender KemenPPPA Lenny N Rosalin mengatakan, perempuan saat ini semakin berdaya, mampu memberikan sumbangan pendapatan signifikan bagi keluarga, menduduki posisi strategis di tempat kerja, dan terlibat dalam politik pembangunan dengan meningkatnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif (kompas. com, 08/01/24).

Keterlibatan perempuan pada ranah publik menghantarkan peran perempuan lebih banyak waktu dicurahkan juga di dunia publik. Massifnya peran perempuan ikut andil menjadi kesimpulan perannya sangat dibutuhkan bahkan bisa disebut mampu menyelamatkan bukan hanya perekonomian keluarga bahkan negara. Keberhasilan dari melihat IPG peran perempuan dan laki-laki adalah sama. Beda halnya laki-laki yang memang fitrah memiliki peran untuk menghidupi keluarga adalah kewajiban.

Perhatian pada keberhasilan ekonomi tidaklah mampu disandingkan dengan berbagai kasus yang menimpa perempuan ketika menjalankan perannya di ruang publik. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyebut terdapat total 21.768 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak (PPA) selama tahun 2023 (cnnindonesia.com, 28/12/23). Disebutkan bahwa kasus kekerasan anak menduduki posisi tertinggi selanjutnya kasus KDRT.

Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta mengungkapkan ada sebanyak 1.682 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sepanjang 2023.

“Sepanjang tahun 2023 terdapat sebanyak 1.682 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak,” kata Kutip Plt Kepala Dinas PPAPP Provinsi DKI Jakarta Mochamad Miftahulloh Tamary (chatnews.com 8/1/24).

Bahkan disampaikan dalam Catatan Tahunan (Catahu) 2023 yang dipublikasikan pada Maret lalu, data kekerasan terhadap perempuan yang tersaji menunjukkan peningkatan dari tahun sebelumnya. Namun, daya pencegahan dan penanganannya masih belum mengalami perubahan berarti.

Kasus yang banyak mengintimidasi perempuan dari kekerasan di tempat kerja hingga KDRT menjadi jawaban bahwa ada peran domestik yang diabaikan yang mana peran tersebut adalah salah satu kewajiban yang harus diambil perannya.

Ketimpangan meningkatnya Indeks pertumbuhan gender dengan meningkatnya kasus perempuan bukan hal yang tidak ada sangkutpautnya sama sekali. Peran perempuan dan pria ada hal yang harus dibedakan sehingga tidak timbul ketimpangan yang lebih parah.

Ketimpangan tersebut mampu dicegah dengan mendalami terlebih dahulu akar masalah sehingga timbul banyaknya kasus yang terjadi.

Pertama, kata gender adalah bukan hal yang harus dipersamakan perannya karena pada dasarnya perempuan dan laki-laki sudah diberikan peran yang berbeda masing-masing. Ketika peran mereka ditempat sesuai tempatnya tentunya akan lebih baik.

Kedua, menahan gak dan. kewajiban peran bagi perempuan sehingga ketika mampu menjalankan kewajiban serta mendapatkan haknya juga menjadi jawaban solusi permasalahan.

Ketiga, meluruskan makna pembangunan ekonomi kesehatan dan pendidikan ditimpakan kewajiban untuk mengurus bukan lagi rakyat apalagi perempuan itu adalah tanggungjawab negara.

Berdayanya perempuan dalam Indeks pembangunan gender bukanlah hal. yang harus dibanggakan justru hal yang harus disesali. Sejatinya perempuan makin banyak mendapatkan permasalahan dalam hidupnya.

Tingginya angka perceraian, KDRT, kekerasan seksual dan lainnya menjadi bukti perempuan menderita. Bahkan maraknya persoalan generasi yang menjadi imbas karena tidak berjalannya kehidupan keluarga sebagaimana mestinya. Setelah memahami semua itu, tentu butuh pemecahan masalah yang hanya mampu diselesaikan oleh satu sistem kehidupan.

Dalam sistem kehidupan hari ini adalah kapitalis, terdapat adanya kesalahan paradigma dalam melihat perempuan dan solusinya. Berbeda halnya dalam sistem Islam, menjadikan perempuan mulia dan kehormatan yang harus dijaga.

Nabi saw, “Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada para perempuan,” dan dalam riwayat yang lain, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya, dan aku adalah yang paling baik terhadap istriku”.

Menempatkan sesuai peran yang wajib dijalankan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga mampu menyelesaikan permasalahan dalam keluarga. Memiliki ilmu memahami hak dan kewajiban yang harus dijalankan, baik untuk mendidik anak serta mendampingi suami.

Sehingga anak-anak tumbuh cerdas dan suami mampu menjalankan peran utama mancari nafkah yang telah disediakan oleh negara. Islam memiliki berbagai mekanisme untuk menjadikan perempuan sejahtera dan tetap terjaga fitrahnya.

Sementara kewajiban untuk meningkatkan perekonomian, kesehatan, dan pendidikan adalah tanggungjawab negara untuk mensejahterakan seluruh rakyat perindividu.

Para penguasa pada periode Islam yang pertama sangat menyadari tanggung jawab mereka selaku Kepala Negara terhadap perekonomian, terutama terhadap pemenuhan kebutuhan dasar seluruh warga negara. Keempat khalifah pertama yang berkuasa, memerintah negara Islam setelah wafatnya Nabi SAW, telah menganggap pemenuhan kebutuhan dasar, sebagai salah satu tujuan dasar dari kebajikan negara.

Dalam periode Abu Bakar (Khalifah pertama), ada segolongan penduduk yang enggan membayar zakat. Penolakan membayar zakat dianggap sebagai penentangan terhadap negara, sehingga tindakan bersenjata dilakukan untuk memaksa mereka membayar zakat.

Khalifah kedua, Umar, juga sangat menyadari tanggung jawab ini, sehingga ia mengumumkan, “jika seekor unta mati tanpa perawatan di tepi Sungai Eufrat, saya takut Allah akan meminta pertanggungjawaban saya terhadap hal itu di akhirat.

Pernyataan ini mengandung makna yang dalam, betapa seorang penguasa memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap rakyatnya. Jangankan manusia yang tidak bisa makan karena busung lapar, misalnya, seekor hewan saja yang mati karena kelalaian penguasa, menjadi tanggung jawab penguasa. Wallahua’lam bi shawab. (*)

Penulis
Sri Rahmayani, S.Kom
(Aktivis Pemerhati Perempuan, Keluarga dan Generasi)

 

***

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

x
x