Paradoks Pembangunan Modern Urban

HAK SUARA
23 Nov 2023 23:42
Ragam 0 127
5 menit membaca

OPINI—Urban (perkotaan) sebagai ruang hidup dengan dinamika pembangunan yang sangat responsif, mampu menyulap sebuah tempat atau lahan menjadi bangunan megah. Misal CPI dengan konsep kawasan modern “CitraLand City Losari Makassar”. Sebuah kawasan dengan “mengorbankan” banyak hal termasuk manusia yang menggantungkan hidup dari aktivitas melaut.

Sulsel sebagai salah satu provinsi sekaligus pintu gerbang Indonesia Timur, menggenjot pembangunan infrastruktur di berbagai bidang. Jika ditelisik arah dan tujuan dilaksanakannya pembangunan, akan terlihat seolah hanya untuk kepentingan para kapitalis. UU Omnibus Law pun hadir untuk melengkapi kemudahan birokrasi alias karpet merah bagi investor.

Pembangunan yang digenjot seakan tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan manusianya. Bahkan, Sulsel sebagai surga investasi mendapat predikat sebagai salah satu provinsi dengan angka prevalensi stunting yang cukup tinggi.

Pun kemiskinan ekstrem terus bertambah. Pembangunan urban dengan desain yang megah, tidak serta merta berkontribusi positif bagi manusianya. Bahkan terjadi paradoks. Mengapa?

Pembangunan Berbasis Kapitalistik

Paradigma pembangunan kapitalistik berdasar pada asas manfaat atau materi (cuan), meniscayakan kesengsaraan. Realitas tersebut sangat jelas terpampang di depan mata. Tak dimungkiri, pembangunan yang terus berjalan telah melahirkan kerusakan demi kerusakan.

Mulai dari kerusakan lingkungan yang perlahan menjadi krisis iklim atau bencana, hingga kerusakan sosio-kultural. Saat yang sama, kerusakan manusianya juga tak kalah mengerikan. Tingginya angka kemiskinan di hampir seluruh wilayah, memicu banyaknya kriminalitas.

Sebuah tulisan dari Mansur Fakih (2006:87) mengatakan bahwa pembangunan itu telah runtuh, salah satunya disebabkan oleh moral hazard. Revrisond Baswir (Baswir, dkk., 2003) menegaskan betapa pembangunan terjadi tanpa perasaan karena ia tidak mampu memenuhi hak sipil dan politik, sebaliknya menguntungkan kaum elite dan penguasa.

Penulis sepakat dengan pernyataan tersebut. Pembangunan yang sejatinya menciptakan kesejahteraan, nyatanya malah berkebalikan. Gedung-gedung tinggi menjulang dengan megahnya berdampingan dengan pemukiman kumuh.

Lengkapnya fasilitas pendidikan dan fasilitas umum lainnya, malah melahirkan manusia-manusia amoral dan bermental rusak. Paling masyhur perselingkuhan sesama dokter di sebuah universitas ternama di Kota Makassar. Sudah menjadi rahasia umum, kasus tersebut adalah fenomena gunung es. Naudzubillah!

Pun menjamurnya cafe-cafe dan mall-mall, menjadi satu bagian ruang hidup yang tidak sekadar tempat makan/minum dan aktivitas berbelanja. Namun, menjadi tempat tumpah ruahnya manusia dengan beragam karakter dan nilai yang dibawanya.

Plus sistem ini mendesain bangunan-bangunan tersebut dengan konsep yang ramah dengan nilai rusak tersebut. Berdasar asasnya yakni pemisahan agama dari kehidupan (sekuler).

Jadilah bangunan masjid tempat ibadah ritual semata dan cafe atau mall menjadi tempat yang diizinkan untuk bermaksiat. Misal aktivitas pacaran atau hanya sekadar nongki-nongki unfaedah.

Banyaknya bencana kemanusiaan tak lepas dari efek pembangunan kapitalistik. mencetak manusia-manusia materialistik dengan standar kebahagiaan yang jauh dari nilai-nilai Islam.

Dampaknya, hampir setiap saat media online memberitakan kasus-kasus yang sangat menjijikkan sekaligus mengerikan. Kriminalitas dalam berbagai modusnya sudah berani dilakukan orang. Pelakunya pun tak pandang usia. Anak-anak maupun orang dewasa. Sungguh di luar nalar sehat.

Kondisi ini menegaskan bahwa sistem kapitalisme dengan paradigma pembangunan kapitalistik, hanya mampu membangun secara fisik. Namun, menegasikan manusianya.

Artinya, pembangunan ini harus ditebus dengan sangat mahal dengan kerusakan moral manusia. Pertanyaannya, adakah pembangunan yang mampu memberi kesejahteraan tanpa batas dan tanpa diskriminasi?

Pembangunan dalam Sistem Islam

Islam adalah sebuah sistem yang diadopsi oleh negara. Paradigma pembangunan dalam sistem Islam adalah demi kemaslahatan rakyat. Kepentingan rakyat adalah tujuannya, karena negara berfungsi sebagai pengatur/pemelihara urusan rakyat.

Plus negara berkewajiban memenuhi kebutuhan dasar individu dan publik. Konsekuensi wajib dalam sistem Islam adalah berdosa ketika tidak dilaksanakan atau ada kelalaian yang disengaja.

Konsep pembangunan melibatkan para ahli (khubaro’) dari akademisi dan atau praktisi. Semua aktivitas berlandaskan akidah Islam. Tidak ada dikotomi pendidikan umum dan pendidikan agama, sebab semua akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat.

Pun skala prioritas untuk daerah urban tidak dikenal dalam sistem Islam, tetapi semua tempat punya hak yang sama. Bahkan di pelosok yang aksesnya sulit terjangkau, akan diprioritaskan dibangun prasarana jalan atau jembatan untuk memudahkan rakyat menjalani kehidupannya.

Urusan rakyat dalam sistem Islam adalah perkara yang sangat penting. Oleh karena itu, negara boleh mengambil pajak (dhoribah) dari orang kaya, jika di baitul mal tidak ada harta. Pajak itupun diambil hanya sebatas kekurangannya saja sampai terpenuhi, tanpa berlebih.

Di antara pos yang boleh diambil pajak adalah pembiayaan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan umat. Di mana jika tidak dibiayai maka bahaya (dhoror) akan menimpa umat. Misal untuk pembiayaan jalan-jalan umum, pengadaan saluran air minum, sekolah-sekolah, rumah sakit, dll.

Pembiayaan untuk keperluan di atas merupakan kewajiban kaum muslim yang diamanahkan ke Khalifah (kepala negara) sesuai syariat. Sebab, jika sarana-sarana tersebut tidak ada akan menyebabkan bahaya bagi umat.

Sedangkan bahaya itu wajib dihilangkan oleh negara maupun umat, berdasar hadis Rasulullah saw.: “Tidak boleh ada bahaya (dhoror) dan (saling) membahayakan.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)

Intinya bahwa pembangunan dalam sistem Islam sangat memperhatikan kebutuhan rakyat dan sangat memanusiakan manusia. Tak kalah urgen adalah perihal pembiayaan. Negara tidak akan menempuh jalur utang ribawi, karena perkara tersebut jelas diharamkan. Negara pun secara mandiri dan independen mengelola semua sumber daya alam dan dikelola di baitul mal kaum muslimin.

Kesemua instrumen ini pernah diterapkan dalam sebuah institusi negara. Sejarah peradaban Islam telah menorehkan tinta emas selama 13 abad lamanya.

Oleh karena itu, jika negeri ini ingin mendapatkan keberkahan dari pembangunan, maka menerapkan sistem Islam kaffah adalah solusi hakiki, agar semua pembangunan berjalan sesuai koridor syariat-Nya. Agar kesejahteraan rakyat mewujud dalam semua aspek kehidupan. Wallahualam bis Showab. (*)

 

Penulis
Dr. Suryani Syahrir, S.T., M.T.
(Dosen Teknik Sipil dan Pemerhati Sosial)

 

***

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

Kerlas Kerja

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

x
x
x