Utusan Khusus PBB untuk Urusan Perempuan di Afghanistan, Alison Davidian, mengatakan perempuan dan anak perempuan Afghanistan berada dalam situasi yang “tidak hanya sulit… tetapi juga mematikan” pasca gempa bumi yang terjadi di negara tersebut baru-baru ini, akibat krisis kemanusiaan dan hak-hak sipil yang melanda Afghanistan sejak Taliban mengambil alih kekuasaan.
Sebuah laporan terbaru dari Badan PBB untuk Urusan Perempuan (UN Women) menyoroti beberapa masalah yang dihadapi perempuan di provinsi Herat, di mana serangkaian gempa bumi dahsyat dan gempa susulan pada bulan ini telah menewaskan ribuan orang, lebih dari 90% di antaranya adalah perempuan dan anak-anak; serta menghancurkan hampir semua rumah.
Laporan terbaru yang diperbarui pada Kamis (19/10) lalu itu menyebutkan bahwa norma-norma budaya membuat perempuan tidak mungkin berbagi tenda dengan tetangga atau keluarga lain. Banyak perempuan juga mengalami kesulitan untuk mendapatkan bantuan kemanusiaan jika mereka tidak memiliki kerabat laki-laki yang dapat mengakses bantuan atas nama mereka, terlebih dengan tidak adanya pekerja perempuan di sejumlah titik distribusi bantuan.
Perempuan yang terdampak gempa mengatakan kepada PBB bahwa mereka tidak dapat mengakses bantuan tanpa kartu identitas nasional, atau tazkera, dari seorang kerabat laki-laki. Mereka juga membutuhkan pakaian, termasuk jilbab, sehingga mereka dapat berpakaian dengan pantas untuk mengakses layanan dan bantuan, menurut laporan tersebut.
“Ketika terjadi bencana alam, perempuan dan anak perempuan paling terdampak dan sering kali dianggap paling tidak penting dalam tanggap darurat dan pemulihan,” ujar Davidian, dalam sebuah pesan kepada The Associated Press. “Gempa bumi, jika digabungkan dengan krisis kemanusiaan dan hak-hak perempuan yang sedang berlangsung, telah membuat situasi tidak hanya sulit bagi perempuan dan anak perempuan, tetapi juga mematikan.”
Salah satu alasan mengapa anak-anak dan perempuan merupakan mayoritas dari setidaknya 1.482 orang yang tewas akibat gempa bumi adalah karena mereka cenderung berada di dalam rumah saat bencana terjadi. Para pejabat Taliban memberikan angka korban yang lebih tinggi dibanding kelompok-kelompok kemanusiaan, dengan mengatakan bahwa lebih dari 2.000 orang tewas dalam bencana tersebut.
Davidian mencatat perempuan dan anak perempuan semakin terkurung di dalam rumah mereka karena meningkatnya pembatasan yang diberlakukan oleh Taliban terhadap mereka dalam dua tahun terakhir.
Aturan khusus
Taliban telah melarang anak perempuan di atas kelas enam SD untuk melanjutkan pendidikan, dan melarang perempuan bekerja di hampir semua ruang publik. Perempuan juga harus mematuhi aturan berpakaian dan memiliki pendamping laki-laki yang dapat menemani mereka dalam perjalanan jauh.
Taliban melarang perempuan Afghanistan untuk bekerja di lembaga swadaya masyarakat, meskipun terdapat pengecualian untuk keadaan darurat dan perawatan kesehatan.
Sebagian besar bantuan darurat di Herat yang dilanda gempa didistribusikan melalui perantara lokal, biasanya seorang tokoh masyarakat atau tokoh agama setempat.
Perempuan yang terdampak gempa mengatakan keterlibatan tokoh masyarakat merupakan “tantangan utama” saat mengakses bantuan karena tokoh masyarakat tidak selalu mengetahui perempuan yang paling rentan, demikian ungkap laporan terbaru PBB.
Warga Afghanistan sedang berjuang menghadapi guncangan sosial, politik, dan ekonomi akibat penarikan pasukan internasional pada tahun 2021 dan perang selama puluhan tahun. Lebih dari separuh populasi negara yang berjumlah 40 juta jiwa itu membutuhkan bantuan kemanusiaan yang mendesak.
Badan-badan bantuan telah menyediakan bantuan makanan, pendidikan, dan perawatan kesehatan setelah pengambilalihan Taliban dan keruntuhan ekonomi yang mengikutinya. [em/rs]
Tidak ada komentar