JAKARTA, JITUNEWS.COM- Direktur eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah Putra menilai bahwa putusan majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) soal gugatan perubahan pada Pasal 169 huruf q UU Pemilu kental sekali nuansa politiknya.
“Putusan MK kian kental nuansa politis dan cenderung membela satu orang semata untuk konteks 2024, yakni Gibran,” kata Dedi kepada wartawan, Senin (16/10).
Ia mengakui bahwa langkah MK sangat canggih sehingga sempat membuat publik terkecoh bahwa MK akan mengabulkan dengan pembacaan putusan perkara nomor 29/PUU-XXI/2023, dan ternyata ditolak. Publik sempat menganggap bahwa MK membatalkan gugatan batas usia Capres-Cawapres di bawah 40 tahun.
Namun, di dalam pembacaan putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, ternyata ada celah yang diberikan oleh MK agar seseorang bisa menjadi Capres atau Cawapres sebelum usia 40 tahun. Caranya adalah dengan pernah atau sedang menjabat sebagai Kepala Daerah hasil pemilihan umum.
“MK tidak ingin dianggap secara vulgar memihak kepentingan keluarga Jokowi, tetapi substansi putusan itu jelas mengelabui beberapa penggugat termasuk publik, karena faktanya usia di bawah 40 tahun sekalipun dapat mengikuti kontestasi,” terangnya.
Menurut Dedi, keputusan yang dibacakan oleh Anwar Usman tersebut sejatinya adalah keputusan yang sangat buruk. Jika memang arahnya seperti itu, mengapa tidak mengabulkan saja gugatan batas usia ketimbang membuat manuver yang terkesan lucu.
“Putusan ini lebih buruk dibanding mengabulkan gugatan batas usia,” jelasnya.
Justru jika pun MK mengabulkan perubahan batas usia dari 40 tahun menjadi di bawahnya, maka akan lebih efektif dan cenderung memenuhi unsur keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, ketimbang memberikan batas pernah atau sedang menjadi kepala daerah.
“Jika gugatan dikabulkan, maka hak kontestasi itu milik semua warga negara tanpa terkecuali, dengan putusan MK saat ini justru hanya diperuntukkan bagi yang sudah berada di kekuasaan. MK seperti sedang membodohi publik,” pungkasnya.
Tidak ada komentar