Scroll untuk baca artikel
banner 325x300
Politik

Pengamat Pemilu Ramdansyah Minta Publik Tidak Menyeret-nyeret KPU terkait dugaan Ijazah Palsu Wagub Kepulauan Babel, Ini Alasannya

2
×

Pengamat Pemilu Ramdansyah Minta Publik Tidak Menyeret-nyeret KPU terkait dugaan Ijazah Palsu Wagub Kepulauan Babel, Ini Alasannya

Sebarkan artikel ini

JAKARTA- Pengamat Pemilu dari Rumah Demokrasi, Ramdansyah meminta publik tidak menyeret-nyeret atau menyalahkan penyelenggara pemilu di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel). Hal itu terkait Wakil Gubernur Kepulauan Babel, Hellyana yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penggunaan ijazah sarjana palsu, oleh Bareskrim Polri. Sebab kata dia, ijazah yang disertakan Wagub Hellyana saat pencalonan sebagai calon wakil gubernur tahun 2024 adalah ijazah SMA.

Karena itu, tegas Ramdansyah, kasus yang terjadi di Kepulauan Babel berbeda dengan kasus ijazah Jokowi yang saat ini ramai di publik. Dimana KPU ikut terseret dalam pusaran polemik tersebut.

banner 325x300

“Menurut saya ini berbeda kasusnya dengan kasus Ijazah Jokowi yang melibatkan Roy, Rismon dan Tifa.
Pertama kalau dari klarifikasi maupun laporan ke Bareskrim terkait dengan kasus Hellyana ini, Wagub Babel ini ditersangkakan karena penggunaan ijazah S1. Yang kemudian dari salah satu kampus tahun 2012 itu yang diduga palsu. Karena dia lebih dahulu keluarin ijazahnya atau gelar sarjana hukumnya tahun 2012 ketimbang dia masuk ke dalam kampus tersebut di tahun 2013 berdasarkan pangkalan data Dikti,” ujar Ramdansyah, saat Dialog Interaktif di Radio Elshinta, Sabtu dinihari (27/12/2025).

Seperti diketahui, Wakil Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Hellyana ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penggunaan ijazah sarjana palsu. Penetapan status tersangka dilakukan oleh Penyidik Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri pada 17 Desember 2025 melalui Surat Ketetapan Penetapan Tersangka Nomor: S.Tap/S-4/104/XII/2025/Dittipidum/Bareskrim Polri.

Hellyana dijerat dugaan tindak pidana pemalsuan surat dan/atau pemalsuan akta autentik dan/atau penggunaan gelar akademik yang diduga tidak benar sebagaimana dimaksud Pasal 263 KUHP dan/atau Pasal 264 KUHP dan/atau Pasal 93 UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan/atau Pasal 69 UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

“Jadi perlu dibedakan kasus penggunaan ijazah S1 Hellyana dengan Ijazah S1 Jokowi, meskipun tersirat Polri diharapkan memberikan penanganan yang sama terhadap kasus penggunaan ijazah kepala daerah ini dengan kepala pemerintahan RI. Sementara baik dari penjelasan KPU maupun penanganan kasus ini kenapa kemudian kita tidak bisa menyeret penyelenggara pemilu karena yang didaftarkan ketika Pilgub 2014 di Bangka Belitung itu adalah ijazah SMA,” imbuh Ketua Panwaslu Provinsi DKI di Pilkada DKI Jakarta 2012.

Hal tersebut jelas Ramdansyah, mengacu pada Undang-undang nomor 7 tahun 2017, maupun kemudian peraturan KPU yang sebagai peraturan yang dibawahnya mengatur dan Perbawaslu.

“Jelas bahwa kalau yang digunakan adalah ijazah SMA. Ijazah yang disampaikan itu, maka pemeriksaan sebatas pada ijazah SMA tersebut,” ujar Ramdansyah.

Namun kata Ramdansyah, kalau dia kemudian mendaftarkan sampai ke ijazah misalkan S1. Maka KPU dan Bawaslu wajib melakukan pemeriksaan tersebut sesuai dengan undang-undang pemilu.

“Tetapi kalau memang tidak disertakan, karena itukan ijazah minimal untuk Undang-undang Pilkada tersebut adalah SMA bukan kemudian S1 dan tidak menyertakan ijazah S1. Maka tidak tepat kalau kemudian KPU dan Bawaslu diseret-seret atau dipaksa untuk memeriksa ijazah S1. Nah syarat yang disertakan tidak ada ijazah S1, maka tidak mungkin lah KPU dan Bawaslu melakukan pemeriksaan ijazah S1 itu,” ujar Ketua Bidang Kepemiluan Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MN Kahmi).

Lebih lanjut Ramdansyah mengatakan, bahwa dalam pidana pemilu itu harus berdasarkan tahapan. Tahapan penyerahan dokumen ini ada pada tahapan pencalonan kepala daerah.

“Inikan sudah selesai tahapannya atau tahapan pungut hitung itu sudah selesai. Dan kemudian kalau pada saat tahapan pencalonan Peraturan KPU nomor 8 tahun 2024 yang mengatur tentang pencalonan disebutkan permohonan, dokumennya juga diserahkan lalu dimasukkan dengan kedalam sistem informasi calon (Silon),” ujarnya.

“Hari ini kita punya sistem informasi calon atau silon. Juga diinput dengan dokumen-dokumen pendukung seperti ijazah S1 nya disertakan. Ternyata ijazah S1 masuk pangkalan Dikti bisa diperiksa. Bisa dicek keberadaan datanya, maka akan muncul ijazahnya tahun berapa. Artinya dia masuk di kampus tersebut. Kalau ternyata DO tidak bisa diakses atau tidak eligible,” imbuh Ramdansyah.

Jadi Silon itu jelas Ramdansyah, mempermudah baik kepada partai politik sebagai pengusung untuk menginput juga.

“Ketika meragukan keberadaan ijazah dan mahasiswa melaporkan ke Bareskrim, bisa saja yang bersangkutan minta akses ke dokumen publik yang ada di KPU. Kalau menolak bisa kemudian dilaporkan ke Komisi Informasi Publik terkait dengan akses calon kepala daerah atau wakil kepala daerah Babel. Sehingga kemudian akan mudah melihat data ini benar nggak data yang diajukan. Bahkan kemudian kalau kita penasaran juga kita bisa minta KPU cek. Apakah ibu Hellyana ini menyertakan ijazah S1 atau kemudian dokumennya itu ada dokumen S1?,” ujarnya.

“Jadi kalau yang diserahkan ijazahnya hanya ijazah SMA sebagai syarat pemenuhan pencalonan, kemudian hari ini kita menyalahkan penyelenggara pemilu karena tidak memberikan ijazah S1 yah nggak nyambung kalau menurut saya,” imbuh Ramdansyah.

Kemudian jelas Ramdansyah, kasus ini kita masuk ke ranah apa.

“Ini lex specialisnya bukan di undang-undang pemilu atau peraturan KPU yang dilanggar, tetapi lebih kepada pidana umum. Yang deliknya adalah delik umum dan siapapun berhak untuk melaporkan atau polisi kalau mengetahui bisa langsung melakukan penyelidikan. tidak kemudian bergantung kepada aduan pihak yang memiliki legal standing untuk melaporkan,” ujarnya.

Potensi pelanggarannya jelas Ramdansyah adalah terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ini juga bisa di juncto kan dengan UU Sisdiknas yang mengatur tentang penggunaan ijazah. Tentu saja dalam UU ini melarang atau memberikan ancaman pidana kepada semua orang yang kemudian menggunakan ijazah palsu.

“Jadi saya mau mendudukkan persoalannya dan kemudian tidak bisa orang disalahkan atas sesuatu yang bukan kewenangannya untuk memeriksa padahal dan tahapan Pemilunya sudah usai. Dan yang kedua bukan ijazah S1 yang kemudian diserahkan ke KPU,” ujarnya.

Adapun dalam kasus Wagub Kepulauan Babel, sudah betul Bareskrim tentu saja memeriksa, pidana terkait penggunaan ijazah palsu.

“Dan ini kasus yang menarik perhatian publik dan juga pejabat publik. Dan tentu saja ini harus Mabes Polri yang menangani. Bukan setingkat Polsek dan Polres,” ujarnya.