JAKARTA -Wacana Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) dipilih oleh DPRD, kembali mencuat. Bahkan bukan mustahil hal itu akan benar-benar terwujud.
Hal itu setelah Partai Golkar dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) I Tahun 2025 menghasilkan salah satu rekomendasi agar Pilkada dipilih melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Terkait hal tersebut, Pengamat Pemilu dari Rumah Demokrasi Ramdansyah Bakir mengatakan hal itu masih sebatas rekomendasi dari Partai Golkar.
Untuk merealisasikan hal itu, Undang-undang Pilkadanya harus dirubah. Kemudian kepentingan partai politik, kepentingan kita semua, political interest dari masing-masing, seperti LSM juga punya kepentingan untuk menyuarakan ini.
Namun jelas Ramdansyah, rekomendasi dari Partai Golkar menjadi sangat menarik karena dipenghujung tahun 2025. .
“Sebenarnya bukan kejutan banget yah. Tetapi karena disampaikan oleh partai besar yang ada di parlemen dan dalam forum Rapimnas Golkar. Dalam hal ini Golkar mengumumkan usulan dari Rapimnas adalah pemilihan kepala daerah melalui DPRD provinsi atau kabupaten. Ini seolah-olah hal baru. Padahal usai pilkada 2024 suara publik tentang hal ini sudah digaungkan. Evaluasi terhadap pemilu yang kemudian menginginkan pemilihan tidak melalui rakyat, tetapi melalui DPRD,” ujar Ramdansyah, saat dialog interaktif di Radio Elshinta, Senin siang (22/12/2025).
“Ini jadi seolah-olah kayak hal baru. Karena Golkar besar jadi kemudian suara ini tergaung menjadi besar,” imbuh mantan Ketua Panwaslu Provinsi DKI Jakarta tersebut.
Ramdansyah menambahkan, sebenarnya membahas hal ini kita perlu kembali ke tahun 2014. Di tahun ini Presiden SBY membuat surat presiden (Surpres) kepada DPR RI terkait dengan rancangan undang-undang pilkada waktu itu.
“Kita mesti retro yah, bentuk pemilihan kepala daerah saat 2014 itu seperti yang disampaikan oleh Golkar hari ini.
Saat itu dilakukan oleh Partai Demokrat yang berkuasa pada akhir periode kedua pemerintahan SBY,” jelas Kabid Kepemiluan, Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MN KAHMI).
“Tentu saja ini surat presiden kepada DPR ini pada akhirnya melalui pembahasan rapat paripurna dan hasilnya adalah pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Inikan menarik. Jadi sudah diketok palu melalui paripurna DPR,” imbuh Ramdansyah.
Tetapi mohon maaf, jelas Ramdansyah, kita lihat faktanya pada tahun 2014, SBY pergi keluar negeri dan kemudian pulang dari luar negeri menyebutkan ada kegentingan memaksa.
“Kegentingan memaksa saat itu menurut saya tanda kutip. Sangat subyektif, sehingga Presiden SBY mengeluarkan Perppu nomor 1 tahun 2014. Dimana yang namanya pemilihan kepala daerah yang awalnya diusulkan oleh Partai Demokrat melalui DPRD Provinsi, dan Kabupaten tersebut kemudian dicabut atau dibatalkan. Hasilnya Pilkada kembali kepada pemilihan langsung dipilih rakyat,” ujarnya.
“Jadi model Pilkada yang diusulkan dalam Rapimnas Partai Golkar bukan barang baru.
Tetapi tentu saja, apakah ini menjadi lebih berkualitas?. Apakah bisa meminimalkan politik uang?. Justru ini menjadi pertanyaan besar kita. Apakah dengan pemilihan kepala daerah melalui anggota DPRD, diwakili oleh anggota DPRD, apakah justru memindahkan politik uang yang tadinya dilakukan oleh anggota masyarakat sekarang beralih kepada anggota dewan?. Pertanyaannya besarnya apakah pemilihan ini menjamin kualitas demokrasi yang lebih baik yang kita inginkan,” imbuhnya.
Lalu pertanyaannya, jelas Ramdansyah, adalah kalau memang ini dilakukan oleh DPRD apakah bisa mendapatkan kepala daerah yang baik.
“Saya memiliki argumen kalau pemilihan kepala daerah melalui DPRD sebaiknya di level gubernur. Gubernur adalah pembantu presiden, sehingga kemudian bisa saja dilakukan oleh DPRD Provinsi, agar lebih solid. Tetapi kalau pemilihan ditingkat Kabupaten/kota dimana desentralisasi Dan otonomi daerah tengah langsung, maka sebaiknya pemilihan kepala daerahnya langsung oleh rakyat. Jadi sistemnya hibrid,” jelas Ramdansyah.
“Ini tentu saja bisa bertemu dan bisa dilakukan. Tetapi memang semua harapan, baik partai politik, masyarakat dan mungkin kita semua itu adalah kualitas pimpinan kepala daerah yang tentu saja semakin baik. Bukan kemudian kepala daerah atau wakil kepala daerah yang tidak paham apa-apa tentang kondisi bangsa kondisi rakyatnya dan kemampuan untuk mengurus masyarakat itu tidak tidak teruji,” imbuhnya.
Saat ditanya apakah jika wacana itu benar dilakukan, akan ada koalisi permanen?
Ramdansyah menjelaskan, siapapun yang menjadi kepala negara dalam suatu sistem pemerintahan, yang ingin tetap langgeng memang berhak suatu rezim pemerintah itu langgeng. Karena tidak ingin sebelum masa jabatan berakhir, kemudian tiba-tiba ada gejolak politik dan bahkan kemudian kalau dalam sistem parlementer itu berulang kali dalam setahun di sejumlah negara luar negeri misalnya, kepala daerahnya diganti dalam setahun bisa dua tiga kali diganti. Itu hal lumrah.
“Tetapi tentu saja, sistem presidensial, parlementer maupun yang hybrid artinya ada perdana menteri dan presiden, mereka menginginkan yang namanya koalisi permanen. Karena suatu koalisi permanen itu berdasarkan ideologi bukan berdasarkan koalisi sesaat berdasarkan pragmatisme menjelang pemilu atau menjelang pilkada. Sehingga ketika koalisi permanen dengan basis ideologi, masyarakat bisa punya pilihan yang jelas dari awal,” ujarnya.
“Saya akan memilih partai katakanlah yang agamis, atau ingin yang nasionalis atau kemudian yang berpihak kepada pro rakyat. Jadi sebuah kekuatan ideologi yang jelas. Sehingga kemudian partai itu punya basis konstituen yang jelas. Sampai hari ini kan kita lihat setiap pilkada itu yang muncul adalah basis massa yang mengambang.
Sehingga kemudian kan rakyat sangat mudah terombang-ambing. Nah ini tentu saja koalisi permanen dibutuhkan. Tetapi
bagaimana masyarakat ini punya wakil yang jelas yang bisa mewakili mereka. Sehingga pilihan dalam melalui DPRD suara kita terwakili,” imbuh Ramdansyah.
Kemudian tentu saja harapan masyarakat, politik dagang sapi, atau politik yang pragmatisme itu dengan adanya koalisi permanen itu mungkin bisa dinegasikan atau diperkecil.
“Karena masyarakat itu memilih berdasarkan pilihan ideologi. Bukan berdasarkan hari ini memilih A, besok milih B,” ujarnya.
Lebih lanjut Ramdansyah mengatakan, dalam Rapimnas Golkar ini yang ditekankan adalah efisiensi.
“Jadi apakah dengan efisiensi ini metode yang kemudian berubah, itu tidak menghalalkan segala cara. Ini kan balik lagi kualitas anggota DPRD kita juga jadi pertanyaan,” ujarnya.
Partai politik kan tidak banyak mengusung kadernya dalam pilkada. Kebanyakan yang diusung mereka yang punya uang.
“Bukan anggota pengurus yang memiliki ideologi yang diusung. Hasilnya jadi pragmatis,” ujarnya.












