OPINI—Sungguh miris mengingat kondisi negeri ini. Ya, semua itu karena seolah negeri ini tak lepas dari yang namanya persoalan, bahkan hampir disemua bidang kehidupan. Di bidang pendidikan misalnya, baru baru ini tengah ramai di perbincangkan dan disoroti.
Pasalnya, salah satu kampus yang ternama di negeri ini menggandeng sebuah Platform Pinjaman Online dengan tujuan untuk memudahkan para Mahasiswa atau Mahasiswi dikampus tersebut untuk membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) mereka.
Dengan kata lain kampus tersebut menawarkan ciciilan uang kepada para Mahasiswa atau Mahasiswi yang kurang mampu berikut dengan bunganya, untuk memudahkan mereka membayar UKT. Namun, apakah benar demikian?.
Faktanya adalah justru skema ini berpotensi menjerat mahasiswa kedalam lilitan utang yang jetika gagal bayar akan berujung kepada praktik intimidasi. Hal ini sebagaimana pendapat Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Metraji.
“Orang yang jelas-jelas tidak mampu itu punya hak dibantu, tapi ini tidak. Dibikin celah pinjol supaya mereka secara sistemik terbelit utang dan tidak bisa bayar, apalagi ada intimidasi. Itu seni pemerasan,” kata Ubaid kepada wartawan BBC News Indonesia, Jumat (26/01).
Kritikan serupa juga muncul dari salah satu Anggota Komisi X DPR RI Nuroji. Beliau, sekaligus mengusulkan agar Dana Abadi Pendidikan (DAP) yang dinilai berlebih, dapat disalurkan untuk para mahasiswa jenjang sarjana yang kesulitan membayar uang kuliah tunggal (UKT). Baginya, solusi ini patut dipertimbangkan agar generasi muda bangsa tidak terjerumus pinjol demi membayar UKT yang kini kian memberatkan.
“Mengingat bunga (Pinjol)-nya mencapai 20 persen, jangan diarahkan (para mahasiswa untuk membayar UKT dengan) yang namanya pinjol. Ini kan memberatkan apalagi ini ada kerja sama, kan lucu,” ungkap Nuroji, Jumat (2/2/2024).
Tidak hanya itu saja, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf Macan Efendi menilai kebijakan pembayaran UKT Via Pinjol adalah sesuatu yang tidak pantas karena mengambil keuntungan dari mahasiswa yang tengah mengalami kesulitan ekonomi. Berdasatkan informasi yang beliau terima bunga pinjol cicilan UKT bisa mencapai 20 persen.
“Kalau saya sih melihatnya kebijakan pinjol nggak pantes. Sebuah sekolah menawarkan pinjol dimana pinjol itu bunganya juga besar mencapai 20 persen. Padahal didalam UU sikdiknas itu kalau ada cicilan, tidak boleh terkena bunga, harus 0 persen”, Ungkap Dede melalui keterangan media, Selasa (6/2/2024).
Dari sini nampak jelas bahwa skema bayar UKT via Pinjol bukannya memberikan solusi justru sebaliknya, akan menjerat para generasi kedalam persoalan yang lain.
Tentunya, kondisi ini sangat disayangkan, mengingat Pendidikan merupakan isu sentral yang sangat besar pengaruhnya pada nasib bangsa di masa depan. Malangnya, untuk dapat mengakses pendidikan tinggi berkualitas dengan biaya yang murah tak bisa dipungkiri semakin lama kondisinya bagaikan pungguk yang merindukan bulan.
Kondusi ini semakin parah sejak dimasukannya klausul perizinan sektor pendidikan dalam RUU Cipta Kerja (Omnibus Law). Meski dikategorikan sebagai usaha jasa, tetap saja artinya pendidikan dijadikan sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan. Ujungnya komersialisasi pendidikan siap menanti.
Berbicara masalah komersialisasi ini tidak bisa lepas dari yang namanya profit. Artinya apa, bahwa saat ini dunia pendidikan pun tengah dipertaruhkan demi keuntungan sesaat oleh sebagian pihak. Padahal, pendidikan inilah yang nantinya akan menjadi aset bangsa dan generasi kedepannya.
Inilah salah satu imbas dari penerapan Ideologi Kapitalis yang diterapkan oleh negara saat ini. Kapitalisme landasannya adalah manfaat belaka. Artinya, segala sesuatu termasuk dalam hal pengambilan kebijakan oleh negara semuanya akan diliat dari segi besaran manfaat yang bisa diperoleh.
Maka, tidak heran jika semua pelayanan publik yang diselenggarakan negara seolah menggunakan prinsip untung-rugi bagi penyelenggara bisnis publik tersebut, dalam hal ini untung rugi ekonomi bagi pemerintah. Pun, halnya pelayanan publik secara cuma cuma seperti subsidi dianggap pemborosan dan inefesiensi.
Maka dari itu mengharapkan kemudahan dalam semua aspek kehidupan termasuk kemudahan dalam mengakses pendidikan tinggi berkualitas dengan biaya murah, merupakan sesuatu yang mustahil ditengah kondisi penerapan sistem Kapitalis-Liberalis.
Jauh berbeda dengan Sistem saat ini (Kapitalisme-Sekulerisme), sebaliknya Islam memandang bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang sangat urgen bahkan menjadi hak bagi setiap warga negara.
Bahkan lebih dari itu, pendidikan merupakan kebutuhan yang harus terpenuhi. Dengan pandangan inilah kemudian dalam Islam, negara berkewajiban dalam memenuhi dan memberikan layanan pendidikan yang baik bagi setiap warga negara.
Pemenuhan pendidikan ini bersama dengan pemenuhan pokok lain seperti sandang, pangan, dan papan serta kesehatan dan keamanan. Dan semua layanan dan pemenuhan ini diberikan secara cuma cuma oleh negara bagi setiap warga negara tanpa terkecuali baik dia status nya sebagai ASN ataupun Non ASN, baik muslim maupun nonmuslim.
Semua ini adalah sebuah keniscayaan, sebab seorang pemimpin dalam Islam diibaratkan seorang penggembala yang akan dimintai pertanggunjawaban atas setiap gembalaannya.
Nabi SAW bersabda, “Imam adalah bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya itu.” (HR Muslim).
Jika kita telisik lebih dalam sirrah nabawiyyah, maka akan kita dapati betapa Rasulullah SAW dan para Sahabat sangat mementingkan pendidikan. Bisa kita lihat dari peristiwa perang badar tatkala beberapa tawanan tudak mampu menebus pembebasan mereka, maka kemudian Rasulullah SAW menugaskan para tawanan tadi untuk mengajari baca tulis kepada sepuluh anak anak di madinah dengan upah mereka terbebas dari status tawanan perang.
Sejarah juga mencatat dengan tinta emas perihal kebijakan para khalifah yang menyediakan pendidikan gratis bagi rakyatnya. Sejak abad IV H para khalifah membangun berbagai perguruan tinggi dan berusaha melengkapinya dengan berbagai sarana dan prasarananya.
Setiap perguruan tinggi itu dilengkapi dengan iwan (auditorium), asrama mahasiswa, juga perumahan dosen dan ulama. Selain itu, perguruan tinggi tersebut juga dilengkapi taman rekreasi, kamar mandi, dapur, dan ruang makan.
Adapun pembiayaannya bersumber dari pos pendapatan negara (Baitul Mal) yang berasal dari jizyah, kharaj (pajak tanah), dan usyur (pungutan atas harta non muslim yang melintasi tapal batas negara. Sehingga tak ada cerita negara kehabisan dana atau meminta lembaga pendidikan berjuang sendiri mencari biaya (Zallum, Al -Amwal fi Dawlah Khilafah, 1983).
Demikianlah gambaran pendidikan dalam Islam. Olehnya itu, jika kita mengharapkan kualitas pendidikan yang baik dengan biaya yang murah bahkan gratis sekalipun. Maka, sudah sepatutnya kita beralih ke Sistem Islam. Wallahu’ A’lam Bish Shawab. (*)
Penulis:
Satriah Ummu Aulia
(Pengurus MT Mar Atul Mut Mainnah)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.
Tidak ada komentar