Beberapa hari sebelum para kandidat secara resmi mendaftar untuk pemilu di Indonesia, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah memicu kekhawatiran atas integritas pemilu di Indonesia.
Pada hari Senin, MK menghapuskan persyaratan usia minimum 40 tahun bagi calon presiden atau wakil presiden jika mereka sebelumnya terpilih untuk menduduki jabatan daerah, sehingga berpotensi membuka jalan bagi putra Presiden Joko Widodo yang berusia 36 tahun untuk ikut serta dalam pemilu.
Putusan tersebut, yang dikeluarkan oleh mahkamah yang dipimpin oleh saudara ipar presiden, telah menimbulkan kekhawatiran akan kebangkitan kembali dinasti politik di negara yang baru 25 tahun lalu bangkit dari pemerintahan otoriter Suharto.
“Saya rasa tidak ada satu orang pun di Indonesia yang tidak menyadari bahwa pengajuan tersebut pada dasarnya adalah tentang apakah putra presiden dapat mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden,” kata Tim Lindsey, pakar hukum Indonesia di Universitas Melbourne.
MK dan Istana Kepresidenan tidak segera menanggapi permintaan komentar Reuters.
Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan presiden dan legislatif serentak pada 14 Februari tahun depan. Jokowi tidak bisa mencalonkan diri lagi setelah menjabat maksimum dua periode. Namun keputusan Senin itu membuka jalan bagi putra sulungnya sekaligus Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka.
Keputusan tersebut diambil di tengah maraknya spekulasi bahwa presiden, yang pernah dipuji karena mendobrak pola kepemimpinan lama di era Suharto akan mencalonkan putranya untuk menjadi pasangan wakil presiden Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, yang kini dalam posisi memimpin dalam jajak-jajak pendapat.
Gibran adalah salah satu calon wakil presiden terkuat bagi Prabowo, kata seorang pejabat Gerindra, partainya mantan jenderal tersebut, pada hari Selasa.
Para pengamat mengatakan dukungan Jokowi akan memberikan dorongan yang signifikan bagi Prabowo, mantan menantu Suharto dan juga putra mantan menteri kabinet.
Pemimpin Indonesia ini sebelumnya terlihat sedang menimbang-nimbang dua calon presiden yang menjadi unggulan teratas, namun para analis mengatakan keputusan pengadilan menyiratkan bahwa ia akan mendukung Prabowo.
Prabowo, 72 tahun, kalah dari Jokowi pada dua pemilu presiden sebelumnya. “Ini adalah keputusan yang memalukan karena banyak masyarakat Indonesia melihatnya sebagai hilangnya independensi pengadilan, dan terdapat konflik kepentingan serta intimidasi yang menyebabkan pengadilan membiarkan presiden saat ini, yang tidak dapat menjabat untuk masa jabatan ketiga, menggantinya dengan membangun sebuah dinasti,” ucap Lindsey.
Keputusan tersebut, kata Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, “lebih buruk dibandingkan dengan Suharto.”
Sebagai pemimpin populer di negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara itu, para analis mengatakan bahwa Jokowi telah melakukan manuver di belakang layar untuk menjaga warisannya dan memperluas pengaruhnya setelah masa jabatannya berakhir.
Sebagai seorang operator politik yang mahir, Jokowi mungkin bertaruh bahwa peringkat persetujuannya yang tinggi akan membantunya mengatasi segala reaksi negatif, namun Goenawan Mohamad, pendiri majalah investigasi Tempo, mengatakan bahwa pertaruhan tersebut akan gagal.
“Pada tahun 2024, Jokowi tidak akan menjadi pusat kekuasaan. Pengaruhnya akan melemah. Angkuh jika berpikir bahwa popularitasnya akan tetap utuh, atau putranya akan selamat dari balas dendam politik,” katanya.
Apa yang luar biasa, kata para analis, adalah bahwa Jokowi berhasil tetap populer meskipun ada kritik yang menunjukkan adanya tren kemunduran demokrasi, termasuk melemahnya lembaga-lembaga negara.
Hakim MK Saldi Isra, salah satu dari empat hakim yang berbeda pendapat dari sembilan hakim yang mengeluarkan putusan hari Senin, mengatakan ia gelisah dengan sikap yang tampak kontradiktif yang diambil rekan-rekannya, yang sebelumnya menolak petisi serupa.
“Ini pertama kalinya saya menemukan kejadian yang luar biasa aneh, yang bisa disebut di luar batas nalar yang wajar,” ujarnya.
Pemilu di Indonesia seringkali diwarnai kehebohan, dan selalu diikuti dengan perselisihan, yang permohonannya diajukan ke MK.
“Putusan MK telah menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap peradilan yang independen dan perselisihan politik apa pun di masa depan akan dengan mudah memecah belah negara,” kata Goenawan dari Tempo.
The Jakarta Post menulis dalam tajuknya: “We must raise a red flag over the probity of the upcoming election. The game appears rigged to give certain players the upper hand. ” Harian berbahasa Inggris terkemuka di Indonesia itu mengingatkan, keputusan MK membuat banyak pihak mempertanyakan kejujuran pemilu mendatang atau berpendapat bahwa pemilu mendatang tampaknya direkayasa untuk memberikan keunggulan kepada pihak tertentu. [ab/uh]
Tidak ada komentar