OPINI—Sampai akhir Januari 2024, Indonesia disambut dengan kehadiran curah hujan yang sangat tinggi. Seperti diketahui sepanjang Januari 2024 hampir seluruh wilayah Indonesia sering diguyur hujan yang tak mudah diprediksi.
Kekhawatiran datangnya banjir dan tanah longsor, perlu diwaspadai menyusul potensi hujan lebat akibat cuaca ekstrim terjadi saat ini. Serangkaian kesiapsiagaan ditingkatkan khususnya daerah-daerah rentan bencana hidrometeorologi basah, seperti musibah banjir dan tanah longsor. Kesiapsiagaan bencana hidrometeorologi ini perlu ditingkatkan di wilayah rawan bencana.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat jika adanya pengaruh besar perubahan cuaca yang ekstrim terhadap musibah bencana alam.
Berdasarkan data BPNB, Provinsi Jawa Barat menjadi provinsi yang mengalami kejadian bencana terbanyak sepanjang 2023 dengan realitas 754 kejadian, disusul dengan Provinsi Jawa Tengah dengan 580 kejadian, Provinsi Kalimantan Selatan dengan 490 kejadian, Provinsi Sulawesi Selatan 268 kejadian, Kalimantan Timur 252 kejadian, dan Aceh dengan 230 kejadian (BPNB, 2023).
Tingginya bencana hidrometeorologi mendorong kebutuhan taktis untuk dapat memitigasi sedini mungkin terhadap berbagai perubahan iklim dan cuaca. Kepekaan dari pemerintah pusat dan daerah (pemda) pun dirasa penting demi mengantisipasi bencana hidrometeorologi basah di wilayah masing-masing.
Setiap pemda bahkan sudah saatnya mulai menetapkan status siaga darurat jika sudah ada tanda tanda bencana sehingga daerah bisa melakukan intervensi langsung dalam mengantisipasi ataupun menanggulangi bencana yang terjadi.
Mitigasi dihadirkan sebagai upaya rasional untuk meminimalisir segala macam dampak bencana dengan perencanaan yang tepat. Bencana geologi dan hidrometeorologi yang sering ada di Indonesia seperti banjir faktanya sangat dipengaruhi oleh kuatnya angin barat dan perubahan iklim dunia. Besarnya tekanan atas alih fungsi lahan yang tidak tepat mendukung terjadinya bencana ini.
Selain itu pendangkalan sungai, drainase dan kurangnya daerah resapan air memiliki peranan penting terjadinya banjir. Maka dari itu dibutuhkan sebuah analisis risiko bencana banjir dan tanah longsor untuk menentukan bentuk mitigasi yang sesuai.
Bencana hidrometeorologi banjir di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kompleksitas perubahan iklim serta alih fungsi lahan yang tidak tepat. Terjadinya banjir perkotaan pun marak terjadi karena korelasi faktor hidrometeorologi yang diperparah aktivitas manusia sebagai respon proses pembangunan dari sebuah kota.
Ada banalitas pokok yang terbentuk dalam pemahaman faktor meteorologi yang dipengaruhi intensitas curah hujan, sedangkan faktor hidrologi dipengaruhi oleh kemampuan dan kapasitas daerah aliran sungai untuk menampung berbagai jenis air limpasan, tutupan lahan, kelembaban tanah dan tingkat ketersediaan air di bawah tanah.
Analisis problema pokok bencana hidrometeorologi inilah yang menuntut kebutuhan rancangan mitigasi untuk sekarang ini menjadi sangat urgen dapat dilaksanakan.
Dalam ruang rencana, mitigasi tentu menjadi implementasi untuk mengurangi dampak bencana, baik struktural seperti pembuatan bangunan fisik dan non struktural dengan berdasarkan acuan terhadap perundang-undangan dan riset yang dilakukan.
Implementasi mitigasi juga harus terukur termasuk mampu dilakukan untuk segala jenis bencana, baik bencana alam maupun bencana non alam seperti halnya bencana yang disebabkan perbuatan manusia.
Dengan kata lain, penerapan mitigasi harus berpatokan dengan strategi tepat dan akurat, perlu dilakukan kajian risiko (risk assessment). Kegiatan mitigasi bencana harus dilakukan secara rutin dan berkelanjutan (sustainable).
Jika mengacu pranata hukum Indonesia, dalam Undang-Undang (UU) No. 24 Tahun 2007, risiko bencana merupakan potensi kerugian pada suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu. Untuk menentukan risiko bencana pada suatu daerah BNPB sudah menerbitkan pedoman, seperti adanya Peraturan Kepala BNPB Nomor 02 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana.
Untuk menentukan tingkat risiko bencana terdapat tiga aspek terkait yang menjadi fokus pemetaan yaitu soal bahaya, kerentanan dan kapasitas. Dengan dasar inilah pemerintah kemudian melakukan serangkaian mitigasi struktural untuk membuat setiap peristiwa bencana dapat diminimalisir dan tereskalasi dengan baik.
Dalam ruang praktis sikap antisipasi terhadap musibah bencana jelas bukan hanya menjadi kewenangan tunggal dari pemerintah sebagai pihak penyelenggara negara. Karena konteks musibah atau bencana dapat terjadi secara tiba‐tiba sekalipun hal itu terjadi karena melewati proses yang lamban.
Beberapa jenis bencana seperti gempa bumi, hampir tidak mungkin diperkirakan secara akurat kapan, dimana akan terjadi dan besaran kekuatannya. Sedangkan bencana lainnya seperti banjir, tanah longsor, dan anomali cuaca masih dapat diramalkan sebelumnya.
Disisi lain, adanya bencana selalu memberikan dampak besar yang menimbulkan banyak kerugian baik jiwa maupun materi. Kejutan terjadi karena kurangnya kewaspadaan dan kesiapan dalam menghadapi ancaman bahaya. Ditetapkannya Undang‐undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, maka sejatinya menempatkan konteks penyelenggaraan penanggulangan bencana sebagai wujud kegiatan prioritas.
Baik Pemerintah pusat dan Pemerintah daerah yang menjadi penanggung jawab penyelenggaraan penanggulangan bencana harus melakukan kerja penanggulangan secara terarah baik itu mulai pra bencana, saat tanggap darurat, dan juga pasca bencana. Termasuk langkah mengenali/mengidentifikasi terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana.
Jika merefleksikan pada sisi historis Indonesia, dampak bencana hidrometeorologi seperti halnya musibah bencana banjir secara sederhana telah menjadi tantangan rutin pembangunan Indonesia. Namun, yang penting disadari adalah setiap peristiwa banjir selalu terikat erat dengan masalah anomali sistem saluran sungai dan resapan air.
Kebiasaan buruk dalam membuang sampah di sungai menyebabkan aliran air tersendat sehingga tak mampu menjadi penampungan yang ideal. Sejak zaman kolonial,keberadaaan sungai seperti Sungai Ciliwung yang ada di kawasan Angke telah lama diproyeksi untuk menjadi tempat tampung yang mampu mengalirkan air secara lancar ke Laut Jawa.
Dari banyak pengalaman sejarah tampak jelas jika penanganan banjir harus selalu melibatkan langkah pengendalian sistematis yang tak hanya bicara dalam mitigasi secara manusia tapi juga menciptakan rekayasa alam untuk dapat menjadi katalisator dalam hal pengendali banjir.
Untuk memitigasi bencana alam seperti banjir, kita dapat mempelajari pernyataan ilmiah Fernand Braudel, The Mediteranian and The Mediterranian World in The Age of Philip II, vol I, (1972) yang menyebut jika setiap daerah dataran di Asia mempunyai kecendrungan kuat untuk menghadapi masalah terkait meluapnya air yang berada di sungai yang berada di dataran luas.
Karenanya untuk menanggulangi banjir dataran perlu dibuatkan kanal, dan saluran-saluran irigasi lain guna menampung debit air, lebih banyak ketika air datang. Disisi lain, dilema banjir yang terjadi di dataran adalah tidak hanya terjadi pada musim penghujan saja, namun kadang terjadi pada musim kemarau sebagai akibat dari kurang berfungsinya saluran drainase.
Jika kita kembali melihat kompleksitas masalah bencana hidrometeorologi yang terjadi sekarang dengan memimjam pandangan kritis Braudel maka sepertinya pemerintah Indonesia saat ini sudah harus melakukan upaya hilirisasi pengendalian bencana secara lebih praktis dan lokalistik.
Karena faktanya, masing masing wilayah di Indonesia sekarang ini tidak punya standarisasi pengendalian bencana hidrometeorologi yang terukur. Beberapa kawasan di Indonesia timur bahkan sistem pengendalian bencana tidak terpantau secara baik dalam sistem digital berbasis online. Ini jelas menjadi titik lemah yang harus segera diperbaiki.
Untuk itulah, ada dua solusi sederhana yang sekiranya mampu membantu langkah mitigasi bencana hidrometeorologi secara taktis untuk diterapkan saat ini.
Pertama, dengan melakukan aksesibilitas sistem mitigasi digital berbasis online dengan zona kepulauan. Konteks ini menjadi sangat penting karena topografi di Indonesia punya keragaman masing masing termasuk pada konteks daratan dan maritim yang memiliki langkah penyelesaian mitigasi yang berbeda.
Kedua, melalui penerapan rekayasa lingkungan berbasis masyarakat. Tekanan besar dampak bencana alam seperti banjir dan tanah longsor dapat diantisipasi jika masyarakat selalu dilibatkan untuk mengkaji kawasan atau dataran yang menjadi sumber mitigasi bencana efektif.
Pengalaman hidup sehari hari masyarakat tentu menjadi dasar utama untuk lebih cermat membantu melakukan proyeksi analisis atas proses pengendalian bencana hidrometeorologi secara lebih efektif dan matang sehingga kalkulasi mitigasi dapat lebih terencana dan bekerja secara praktis. (*)
Penulis:
Haris Zaky Mubarak, MA
Peneliti dan Mahasiswa Doktoral Universitas Indonesia
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.
Tidak ada komentar