OPINI—Melansir dari laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Hari Guru Nasional secara resmi ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 1994 yang bertepatan dengan berdirinya Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) pada tanggal 25 November.
Hari Guru Nasional bukan hanya sekadar perayaan seremonial. Lebih dari itu, ini adalah momen refleksi untuk memahami betapa pentingnya peran guru dalam mengarahkan generasi muda menuju masa depan yang lebih baik. Guru tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter, moralitas, dan sikap positif siswa.
Berdasarkan Surat Edaran Mendikbudristek Nomor 36927/NPK.A/TU.02.03/2023, seluruh instansi pemerintahan, termasuk bidang pendidikan, diperintahkan untuk melaksanakan Upacara Hari Guru pada Sabtu, 25/11/2023.
Tema yang diusung tahun ini adalah “Bergerak Bersama, Rayakan Merdeka Belajar”. Tema ini menjadi pertanyaan mengingat berbagai realita generasi yang sarat berbagai masalah serius mulai dari kriminalitas, kesehatan mental bahkan hingga tingginya angka bunuh diri.
Hal ini menunjukkan kurikulum yang saat ini diterapkan tidak tepat dan bermasalah. Dan ini semakin menegaskan bahwa sistem kapitalis tidak memiliki sistem membangun dan melahirkan generasi yang berkualitas.
Ungkapan zaman dahulu bahwa guru digugu dan ditiru. Namun, yang terjadi saat ini adalah guru tidak lagi digugu dan ditiru. Faktanya hari ini bisa kita jumpai kasus demi kasus guru dirundung, lunturnya penghormatan terhadap guru dan banyaknya guru dikriminalisasi oleh orang tua siswa.
Fenomena kerusakan generasi seperti ini menunjukkan bahwa pembelajaran selama ini tidak berjalan dengan baik. Setiap ganti menteri, maka kurikulum akan ikut berganti. Akan tetapi, bukannya generasi bertambah baik, yang ada justru mengalami degradasi. Sudah sepatutnya kita mengoreksi akar masalah sebenarnya.
Pendidikan harusnya berperan besar membentuk karakter peserta didik, tetapi fakta sistem pendidikan hari ini gagal membentuk sosok anak didik yang berakhlak. Ketika peran guru dalam mendidik generasi tidak bisa dijalankan karena sistemnya sekuler, murid akan menjadi pribadi-pribadi pembangkang, suka berbuat semaunya, dan kerap berperilaku buruk. Terjadilah kerusakan moral yang luar biasa.
Ada beberapa kemungkinan penyebab degradasi moral dan kurangnya hormat kepada guru:
Islam memiliki sistem pendidikan berkualitas yang berasas akidah dalam membentuk syakhsiyah Islamiyyah, generasi yang memliki pola sikap dan pola fikir Islam, dimana adab dan akhlak adalah perkara mendasar yang harus menyertai peserta didik. Ini karena adab merupakan perkara utama sebelum ilmu.
Imam Malik berkata, “Pelajarilah adab sebelum mempelajari suatu ilmu.” Yusuf bin Al-Husain berkata, “Dengan mempelajari adab, maka engkau jadi mudah memahami ilmu.” Pemahaman yang baik tentang adab akan membuat seorang penuntut ilmu begitu menghormati gurunya.
Fakta rusaknya generasi hari ini maka harus dibutuhkan perubahan sistem kehidupan dari sistem sekuler liberal yang mengumbar kebebasan berperilaku menjadi sistem Islam yang mengajarkan ketaatan kepada Allah Taala atas dasar keimanan.
Sistem kehidupan Islam, termasuk sistem pendidikannya, berasas akidah Islam sehingga setiap individu akan tertunjuki untuk hanya berbuat yang mendatangkan rida Allah Swt.
Masyarakat dan individu hasil bentukan sistem Islam adalah masyarakat dan individu yang taat syariat. Dengan demikian, secara praktis mereka akan menghormati orang lain, tidak berbuat zalim, tidak bermaksiat, tidak mengambil hak orang lain, dan perilaku lainnya yang mencerminkan ketaatan.
Murid dan orang tua akan hormat pada guru dan menaati perintah guru yang sesuai syariat. Guru akan menjadi sosok panutan karena ketakwaannya yang di atas rata-rata. Guru tidak segan melakukan amat makruf nahi mungkar di sekolah maupun di tengah masyarakat sehingga terwujudlah suasana takwa dalam kehidupan.
Negara dalam hal ini penguasa akan menerapkan syariat Islam secara kaffah (menyeluruh) dalam setiap sektor kehidupan, termasuk dalam sektor pendidikan. Kurikulum disusun berbasis akidah Islam sehingga akan membentuk individu dan masyarakat yang bertakwa.
Negara menjamin kebutuhan pokok warganya dan membuka lapangan kerja sehingga para ayah bekerja dengan layak dan para ibu mendidik anak-anak di rumah. Ayah juga peduli pada pendidikan anak sehingga anak mendapatkan kasih sayang yang cukup.
Adanya keterpaduan tiga pilar inilah, yaitu keluarga masyarakat dan negara akan menjamin keberhasilan membentuk generasi berkualitas, generasi islam yang berkepribadian Islam. Wallahu a’lam bish Showab. (*)
Penulis
Mansyuriah, S.S.
(Pemerhati Sosial)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.
Tidak ada komentar