OPINI—Belum berakhir kezaliman yang terjadi di Palestina, berita duka kembali menyelimuti kaum muslimin. Nasib ‘manusia perahu’ yakni etnis muslim Rohingya baru-baru ini, begitu memilukan. Kasus penolakan sebagian warga Aceh terhadap ratusan pengungsi Rohingya saat hendak berlabuh dengan perahu kayu, menambah daftar keterpurukan umat Islam saat ini.
Koordinator Kontras Aceh Azharul Husna mengatakan, imigran etnis Rohingya berdatangan di kawasan Kabupaten Pidie dan Bireun, Aceh sejak 14 November 2023. Mereka datang melalui jalur laut menggunakan kapal.
Azharul menyebut jumlah imigran Rohingya sebanyak 346 orang yang berada di Pidie dan 249 lainnya di Bireuen. Warga sekitar telah membantu para imigran Rohingya yang hendak mengungsi. Namun, setelah diberi bantuan, para pengungsi kemudian diminta kembali ke kapal mereka. (tirto.id/16/11/2023).
Hingga saat ini, derita kaum muslim Rohingya belum berakhir. Walaupun PBB telah menetapkan muslim Rohingya sebagai kaum yang paling teraniaya di dunia, nyatanya PBB tak mengambil tindakan yang tegas pada pemerintahan Myanmar.
Begitu pun yang dilakukan UNHCR (The United Nations High Commissioner for Refugees) dan HRW (Human Right Watch), mereka hanya mampu menjadi lembaga penghasil konvensi yang tak memberikan solusi tuntas terhadap permasalahan Rohingya. Lembaga yang mengklaim akan menjaga hak asasi manusia, justru tak berbuat banyak atas masalah ini.
Ketidakjelasan nasib muslim Rohingya harusnya membuat kita bersimpatik dan bersedih melihat mereka terdampar di atas kapal-kapal kecil dalam waktu yang cukup lama, terombang-ambing di lautan tanpa tujuan yang jelas.
Mereka terusir dari negeri mereka. Pemandangan ini seharusnya memantik persatuan umat Islam di tengah keterpurukan umat yang tak berkesudahan. Terlebih kita adalah seorang muslim, mestinya ada perasaan bahwa kita adalah saudara dan keimananlah yang mengikat persaudaaran kita semua.
Umat Rasulullah saw. adalah umat yang satu. Umat Islam adalah satu tubuh, di mana ada tubuh yang terluka maka bagian lain pun akan merasakan perihnya luka tersebut. Rasulullah saw. mewariskan ukhuwah Islam di antara umat Islam agar kita semua dapat bersatu dalam satu naugan ikatan, yaitu ikatan akidah Islam.
Namun, apa yang menyebabkan negeri-negeri muslim tak mau menolong saudara seakidahnya? Kenapa negeri yang mayoritas muslim ini terlihat berat memberikan perlindungan dan kepedulian terhadap saudara sendiri. Terlihat, penolakan terhadap pengungsi Rohingya tersebut terkesan dianggap beban negara yang harus dihindari.
Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Juru bicra Kementrian Luar Negeri Muhammad Iqbal yang menyatakan Indonesia tidak berkewajiban menerima pengungsi Rohingya, apalagi memberikan solusi permanen bagi para pengungsi tersebut. (titro.id/19/11/2023).
Jika kita teliti secara mendalam, akar permasalahan terhadap pemusnahan ataupun pengusiran muslim Rohingya dan alasan mengapa negara-negara tetangga sulit menerima pengungsi yang datang dari negara yang berkonflik adalah adanya paham ikatan nasionalisme. Sebuah ide yang menjagal sadis ukhuwah hanya karena alasan batas dan perbedaan negara.
Sedih dan miris! Sekat Nation State-lah yang membuat negeri muslim enggan menolong saudaranya. Ide inilah yang menghilangkan ukhuwah atas nama keamanan dalam negeri. Persaudaraan muslim digilas di atas Nation State. Benci dan cinta sudah tidak lagi dimuarakan karena Allah SWT. Tapi sarat dengan kepentingan.
Ide nasionalisme merupakan faham yang dihembuskan Barat dalam rangka memecah belah persatuan kaum muslim. Ide inilah yang menjadi penyebab runtuhnya kekuatan kaum muslimin.
Terbukti, saat ini negeri-negeri muslim di sekat-sekat menjadi 50 negara lebih. Menjadi sebuah negara bangsa atau Nation State. Hal inilah yang memecah belah umat Islam seluruh dunia. Padahal Allah SWT melarang berpecah belah, bahkan seharusnya umat Islam seluruh dunia itu wajib berada dalam satu naugan kepemimpinan.
Di sisi yang lain, absenya negara untuk me-riayah (mengurusi) muslim Rohingya menjadi sebab muslim Rohingya mendapat acaman genosida di Myanmar. Dengan kecaman seperti itu, wajar saja muslim Rohingya melarikan diri ke negara tetangga. Apalagi Indonesia, negeri mayoritas muslim yang diharapkan memberi tempat hidup yang layak bagi mereka.
Namun sayang, harapan mereka pupus. Sekat nasionalisme telah membelenggu, menjadikan negara enggan untuk membantu. Meski muslim Indonesia- utamanya Aceh- mau menolang muslim Rohingya, tetapi level individu dan masyarakat saja tak cukup, perlu adanya kekuatan negara untuk membantu muslim Rohignya mendapatkan kehidupan yang layak. Seperti menyediakan tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, keamanan, energi, sandang, pangan, hingga kewarganegaraan. Tentu, semua ini membutuhkan peran negara.
Sejak Khilafah Islam runtuh, kaum muslim sekarang kini terpecah belah dan tak memiliki perisai yang melindunginya. Bak anak ayam kehilangan induknya, kaum muslimin sekarang mengalami kesengsaraan dan kerusakan akibat dominasi kapitalisme.
Hanya Khilafah lah yang akan menyelamatkan ketertindasan muslim Rohingya. Dengan penerapan Islam secara kaffah seluruh kaum muslimin akan terjamin harta, jiwa, darah dan raganya. Konsep Islam kaffah-lah yang akan mempersatukan seluruh kaum muslimin di bawah naungan akidah Islam.
Islam mengharamkan kaum muslimin untuk mengadopsi paham nasionalisme atau sekat kebangsaan karena hal ini merupakan bentuk penghancuran atas kesatuan kaum muslimin.
Rasulullah saw. bersada: “ Perumpamaan kaum mukmin dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi, dan bahu-membahu, seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya sakit, seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga, dengan tidak bisa tidur dan demam” (HR. Bukhari no. 6011, Muslim no. 2586, dan Ahmad IV/270)
Oleh karena itu, harapan kita sebagai seorang muslim adalah ingin masalah Rohingya menemui akhirnya. Problematika akut yang melanda hampir seluruh sendi-sendi kehidupan kaum muslimin segera sirna. Mari kita kembali kepada Islam dan menjadikannya sebagai satu-satunya pengikat yang shahih dalam kehidupan. Karena hanya dengan Islam, maka manusia akan dihargai sebagai manusia. Wallahu alam bi ash shawwab. (*)
Penulis
Rima Septiani, S.Pd.
(Pegiat Literasi)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.
Tidak ada komentar