Senggol Dikit, Bundir

HAK SUARA
15 Des 2023 15:45
Ragam 0 168
4 menit membaca

OPINI—Psikologi anak sekarang rentan emosional, sehingga perlu ekstra hati-hati dalam menyikapinya. Peristiwa menyakiti sampai bunuh diri terjadi karena emosional sesaat anak, tanpa memikirkan akibatnya.

Demikian dikemukakan Ipung Sunaryo, Kabid Pendidikan Dasar (Dikdas) Dinas Pendidikan Kabupaten Pekalongan, pada rabu (22/11) malam, saat berkunjung ke rumah duka di Pekalongan, Jawa Tengah. Anak sekolah dasar berinisial K berusia 10 tahun di Kecamatan Doro ini, meninggal menjerat diri setelah orang tua menegur dan menyita telepon genggam miliknya.

Anak yang ceria saat bermain bersama teman-teman serta fisik yang sehat, tidak menjamin mental yang sehat pula. Salah satu dari banyaknya kasus miris yang membuat hati teriris. Ternyata telah terdapat 20 kasus bunuh diri anak sejak Januari 2023, dengan berbagai penyebab terutama depresi, hal ini disampaikan Nahar, Deputi bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA).

Kok Bisa Anak-Anak Jadi Senekat Itu?

Emile Durkheim Ahli sosiologi yang terkenal dengan teori bunuh diri menjelaskan, bunuh diri dapat dipicu oleh penyebab psikologis, biologis, dan fisika kosmis yang terkadang tidak dapat dijelaskan secara eksakta.

Dalam Nabe dan Corr (2003), Durkheim membagi tipologi bunuh diri menjadi tiga. Salah satunya adalah bunuh diri egoistik (egoistic suicide). Dibuktikan Durkheim dengan data statistik yang cukup kaya yang menggambarkan bahwa tingkat bunuh diri dipengaruhi oleh lemahnya ikatan keagamaan, keluarga, dan dalam komunitas politik.

Dorongan melakukan bunuh diri tidak datang begitu saja apalagi diusia belia yang notabene tidak seharusnya pusing memikirkan beban hidup. Tentu ada pemicu yang dijadikan inspirasi. Case diatas misalnya, sama sekali tidak ada tabir antara anak dengan gadget, informasi tidak mengedukasi bisa sangat deras mengalir dari apa yang ia tonton. Karena sangat minim (walau masih ada) kemungkinan anak-anak menjadikan bunuh diri sebagai topik pembicaraan saat mereka sedang asik bermain.

Kondisi mental rupanya sering menjadi kambing hitam, seakan-akan memang bawaan, keturunan, bahkan hukuman alam. Padahal manusia lahir dalam keadaan fitrah (baik), manusia memiliki unsur batin yang cenderung mendorong untuk tunduk kepada Zat yang ghaib, ketundukan ini merupakan bagian dari faktor intern manusia. Cara pandanglah yang mempengaruhi mental memutuskan tindakan, sikap ini adalah cerminan tata kehidupan, baik dalam keluarga, masyarakat maupun negara.

Bukan Sembarang Pilar

Saat ini ada saja orang berkeluarga tanpa visi misi jelas, sehingga bagaimana dan harus apa agar karakter anak yang diinginkan bisa terwujud tidak pernah terbesit dalam diri orang tuanya.

Apatah lagi masyarakat berfikir sekuler yang cenderung abai terhadap kebiasaan buruk anak-anak dan tidak tau cara men-tretment atau mengalihkan mereka kepada hal positif ketika terlanjur terkontaminasi, “Apa boleh buat sudah tidak dapat diubah”, “Memang anaknya sudah begitu dari sananya”.

Selanjutnya, masyarakat kita memang telah lama berprinsip kapitalis. Keluarga yang bisa memenuhi semua termasuk kebutuhan tersier menjadi family goals, dengan cara apapun yang tidak jarang mengabaikan kesehatan mental anggota keluarga apalagi anak-anak.

Ibu yang bekerja overtime misalnya, ibu menjadi kurang perhatian terhadap perubahan-perubahan yang kecil pada anaknya. Akibatnya dimasa depan anak terdidik melanjutkan estafet keluarga yang berpandangan sekularisme dan tak luput dari kapitalisme, begitu seterusnya hingga dosa besar bunuh diri menjadi wajar. Naudzubillah.

Tugas berat berikutnya paling mendominasi pada pilar ketiga, yang harus buru-buru menyadari bahwa agama memang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, sebelum kerusakan semakin aneh dan parah.

Dalam islam, daulah yang menjadi darul islam harus memperhatikan tumbuh kembang anak dan menjaga kekuatan mentalnya melalui pendidikan yang berkualitas, yang membuang sekularisme (kebebasan berkelakuan ketika berada diluar ruang ibadah ritual), dan menghadirkan aturan agamanya disetiap lini kehidupan. Kesadaran itu melahirkan kekuatan, kesadaran yang dipegang saudara kita di Gaza, Palestina. Bagi mereka apa itu mental illness?

Mengatur media yang bisa diakses masyarakat terlihat sepeleh, namun tidak menegasi tayangan liberal akan merusak didikan sebagus apapun dilingkungan keluarga sebelumnya. Media dan teknologi adalah termasuk hiburan dan sumber belajar bagi anak. Maka pembentukan mental akan semakin sehat bila tontonannya bukan hal-hal receh yang asal viral, bersifat hedon, bahkan menganggap wajar perkara maksiat.

Sungguh berat dan kompleks permasalahan bunuh diri yang merebak dimasyarakat bahkan kalangan yang kita kata masih bocil. Ketiga pilar wajib menjaga dan tidak membiarkan pelanjut adalah generasi yang dalam keadaan rusak dan lemah.

Mindset mereka harus tersuasanakan takwa, yang menyadari Tuhan sebagai pemilik akalnya, dan akan mempertanggung jawabkan untuk apa akalnya dipergunakan. Dengan begitu akan mudah generasi menjadi mumpuni dalam Iptek, tidak ada pengingkaran atau kehilangan GodView.

Dalam (QS Ar-Ruum 30:30) yang artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.

Dengan kompleksnya masalah, maka kedekatan dengan Sang Pencipta dan aturan yang diambil dari Sang pengatur juga harus komplit/sempurna. Wallahu A’lam Bisshowwab. (*)

 

Penulis
Andi Aini
(Part of Mahasiswa Cinta Qur’an)

 

***

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

x
x