OPINI—Pemerintah melalui Kementerian Agama mengatakan bahwa semua produk makanan dan minuman yang diperdagangkan di Indonesia wajib memiliki sertifikat halal. Kepala Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama, Muhammad Aqil Irham menyebut, kewajiban mengurus sertifikasi halal dilakukan selambat-lambatnya pada 17 Oktober 2024.
Tidak hanya untuk pelaku usaha makro, kewajiban ini juga berlaku bagi pelaku usaha mikro dan kecil (UMK).
Jika tidak memiliki sertifikat halal, sanksi siap menanti. Berdasarkan PP No. 39 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal, sanksi tersebut berupa peringatan tertulis, denda administratif hingga penarikan barang dari peredaran. Sudah tepatkah kebijakan ini?
Sebelum dikelola oleh BPJPH, sertifikasi halal dan logonya berada di bawah kewenangan Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Lembaga kemasyarakatan ini dibentuk pada tahun 1989 setelah sebelumnya masyarakat Indonesia diresahkan oleh isu lemak babi dalam produk pangan.
Pada tahun 1996, peran LPPOM diperkuat dengan penandatanganan nota kesepakatan kerja sama antara Departemen Agama, Departemen Kesehatan dan MUI. Lalu pada 2001, keluar pula Keputusan Menteri Agama (KMA) 518 dan 519 tahun 2001 yang menguatkan kewenangan MUI untuk melakukan audit, menetapkan fatwa dan menerbitkan sertifikat halal.
Namun lebih dari satu dekade setelahnya, kasus-kasus pangan nonhalal ternyata kembali marak. Bahkan bukan hanya pada produk pangan, isu nonhalal juga terjadi pada obat, kosmetik, bahkan fesyen. Pada saat yang sama, muncul polemik di kalangan masyarakat tentang posisi ormas MUI dalam sertifikasi halal ini. Berbagai tudingan miring dialamatkan pada MUI, mulai soal kapitalisasi hingga soal monopoli sertifikasi.
Pada tahun 2014, keluarlah UU No. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Selain mewajibkan sertifikasi halal pada produk yang beredar, UU ini juga mengamanatkan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang merupakan Badan Layanan Umum di bawah Kementerian Agama.
Hanya saja amanat UU JPH ini baru tereksekusi di tahun 2019, yakni dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 31/ 2019 dan KMA No. 982/ 2019 yang mengalihkan otoritas sertifikasi produk halal dari LPPOM MUI kepada BPJPH di bawah Kementerian Agama.
Sejak itu, perusahaan yang akan mengajukan pendaftaran perdana atau perpanjangan sertifikasi halal ke Indonesia harus melalui BPJPH. Namun, proses penyusunan fatwa soal kehalalan produknya masih menjadi tanggung jawab MUI. Artinya, BPJPH mengeluarkan sertifikat halal terhadap produk-produk tersebut berdasarkan fatwa dari MUI.
Perjalanan sertifikasi halal ternyata belum selesai sampai di situ. Saat UU Omnibus Law atau UU Ciptaker disahkan pada 5/10/2020, ternyata UU JPH pun mengalami perubahan signifikan. Dalam UU sapu jagat ini, UU JPH dimasukkan dalam klaster Permudahan Perizinan Usaha. Maklum saja, pemerintah memang punya ambisi menjadikan Indonesia sebagai pusat produk halal dunia pada 2024.
Sementara selama ini Indonesia masih menjadi konsumen terbesar pasar halal dunia. Oleh karenanya, pemerintah sudah menetapkan beberapa strategi, diantaranya mendorong pertumbuhan UMKM dengan memberi dukungan kemudahan regulasi, termasuk perizinan dan sertifikasi halal produk.
Terdapat sejumlah substansi UU Ciptaker yang merupakan perubahan mendasar terkait jaminan produk halal.
Pertama, penetapan kehalalan produk. Penetapan kehalalan produk disampaikan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), MUI Provinsi, MUI Kabupaten/Kota, ataupun Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh kepada BPJPH sebagai dasar penerbitan Sertifikat Halal.
Apabila batas waktu penetapan kehalalan produk telah terlampaui (30 hari), penetapan kehalalan produk dilakukan oleh Komite Fatwa Produk Halal yang dibentuk di bawah Kemenag berdasarkan ketentuan Fatwa Halal. Penetapan kehalalan produk oleh Komite Fatwa Produk Halal dilakukan paling lama 2 (dua) hari kerja. Komite ini dibentuk dan bertanggung jawab kepada Menag yang terdiri dari para ulama dan akademisi.
Kedua, adanya keterlibatan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) selain MUI dalam penetapan fatwa halal yang menjadi dasar sertifikasi oleh BPJPH. LPH ini bisa dibentuk dari ormas berbadan hukum, perguruan tinggi, dan atau lembaga lain yang diakreditasi oleh BPJPH.
Ketiga, sertifikasi halal UMK memiliki mekanisme self declare. Permohonan sertifikasi halal yang dilakukan oleh pelaku usaha mikro dan kecil bisa melalui self declare (pernyataan halal) oleh UMK tersebut, dan selanjutnya dilakukan penetapan kehalalan produk oleh Komite Fatwa Produk Halal paling lama 1 (satu) hari kerja sejak diterimanya hasil pendampingan PPH.
Keempat, penghapusan beberapa syarat bagi auditor halal. Sebelumnya disebutkan, auditor halal wajib beragama Islam, WNI, berwawasan luas terkait kehalalan produk dan syariat agama. Auditor juga wajib berpendidikan minimal S1 bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, atau farmasi. Setelah syarat ini dihapus, tentu membuka ruang yang lebih lebar bagi siapa pun untuk menjadi seorang auditor halal, asal mengikuti pelatihan.
Kelima, masa berlaku sertifikat halal. Sertifikat halal berlaku sejak diterbitkan oleh BPJPH dan tetap berlaku sepanjang tidak terdapat perubahan komposisi bahan dan/atau proses produk halal. Dalam hal terdapat perubahan komposisi bahan dan/atau proses produk halal, pelaku usaha wajib memperbarui sertifikat halal.
Selanjutnya, UU Ciptaker juga memangkas jangka waktu verifikasi permohonan sertifikat halal menjadi maksimal satu hari kerja. Pemohon dalam hal ini cukup melengkapi data pelaku usaha, nama dan jenis produk, daftar produk dan bahan yang digunakan, serta proses pengolahan produk.
Berikutnya soal sanksi. UU baru ini tidak menjelaskan soal sanksi administratif berikut jenis pelanggarannya. Padahal pada UU JPH disebutkan ada sanksi administratif, bahkan denda jika perusahaan melakukan pelanggaran terhadap aturan yang ditetapkan.
Dari semua catatan ini, tampak jelas bahwa spirit sertifikasi halal ala UU Ciptaker bukan semata demi menjamin dan memastikan kehalalan produk atas dasar iman. Bukan pula demi mengakomodasi kepentingan umat Islam akan produk halal, melainkan sekadar formalisasi dan labelisasi demi merebut ceruk pasar umat Islam yang sangat besar, serta demi target menggenjot pertumbuhan ekonomi nasional dan daya saing global.
Di luar itu, ketetapan dalam UU Ciptaker ternyata tidak mampu menutupi adanya kepentingan menarik cuan. Maklum, meski pembiayaan sertifikasi ini katanya diturunkan, tetapi wajibnya penggunaan logo halal akan menjadikan kegiatan sertifikasi ini sebagai bisnis tersendiri yang beromzet besar.
Terlebih, saat ini pemerintah sedang mendorong pertumbuhan UMKM yang 99 persennya disebut-sebut telah memberikan kontribusi utama dalam struktur ekonomi Indonesia. Begitu pun dengan sektor pariwisata yang juga disebut-sebut sebagai primadona pembangunan ekonomi Indonesia.
Semuanya berkelindan dengan segala bentuk produk halal, mulai dari makanan, fesyen, farmasi, dan kosmetika. Wajar jika banyak pihak yang berminat mengajukan diri untuk terlibat dalam industri baru bernama sertifikasi halal. Termasuk berebut proyek meraup uang dengan menjadi salah satu lembaga pemeriksa halal atau auditor halal.
Dalam proses penetapan halal suatu produk, apalagi produk makanan kekinian yang menggunakan bahan-bahan impor dan berbagai bahan tambahan pangan, banyak titik kritis yang perlu dicek.
Apabila menggunakan bahan impor, bahan tersebut juga harus ditelusuri dan diperiksa kehalalannya. Proses ini boleh jadi memakan waktu dan tidak bisa dibatasi sekian hari sebagaimana yang diatur.
Apalagi jika proses ini tidak selesai tepat waktu, BPJPH bisa mengeluarkan sertifikat halal. Tentu hal ini akan menghilangkan esensi dari jaminan halal yang menjadi tujuan sertifikasi dan memunculkan keraguan pada konsumen muslim.
Percepatan proses sertifikasi halal sendiri merupakan salah satu cara pemerintah untuk mempercepat perputaran ekonomi nasional. Pembentukan UU Ciptaker yang diteken Presiden Jokowi pada 30-12-2022 disebut karena adanya kebutuhan mendesak untuk percepatan antisipasi dalam menghadapi kondisi global, prediksi resesi 2023, inflasi, dll.
Namun, apabila kita amati lagi, kepentingan memudahkan sertifikasi halal bagi UMKM tidaklah sesederhana dalih-dalih yang disusun pemerintah. Ada kepentingan lain yang dianggap lebih besar, yaitu kepentingan para kapitalis. Bagaimana bisa? Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dianggap merupakan salah satu sektor yang berperan penting dalam perekonomian nasional.
Data dari BKPM menyebutkan UMKM berkontribusi besar terhadap PDB, yaitu 61,97% dari total PDB nasional atau setara Rp8.500 triliun pada 2020.
Selain itu, UMKM menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, yaitu 97% dari daya serap dunia usaha pada 2020. UMKM juga menyerap kredit terbesar pada 2018, yakni sebesar kurang lebih Rp1 triliun. (bkpm.go.id)
Dalam kaitannya dengan industri besar, UMKM juga berperan strategis dalam rantai produksi global. Di sini UMKM bertindak sebagai pemasok lapisan satu, dua, dst. bagi perusahaan besar multinasional. Perusahaan besar ini menjadi inti dari klaster industri yang terbentuk.
Ia-lah yang memproduksi produk akhir dan memasarkannya, baik di dalam negeri maupun mengekspornya karena modalnya yang besar memungkinkan hal tersebut.
Dari sini kita bisa melihat betapa UMKM berkontribusi bagi perusahaan multinasional, tetapi yang menikmati keuntungan besar adalah perusahaan. Oleh karenanya, upaya memfasilitasi UMKM dan mempermudah berbagai prosedur tidak lain adalah upaya untuk menjamin kehidupan bagi perusahaan besar.
Yang juga memprihatinkan adalah ketika kepentingan agama—yakni hak umat untuk mendapatkan jaminan kepastian halal, bukan semata formalisasi simbol halal—diabaikan sekadar untuk mengejar kepentingan ekonomi. Hal seperti ini hanya kita dapati dalam sistem kapitalisme.
Mekanisme pelaksanaan jaminan halal berupa sertifikasi ini memang cenderung rumit. Seolah-olah produk yang tidak bersertifikat adalah produk haram. Padahal, bisa jadi ia produk halal, tetapi sekadar tidak punya sertifikat.
Contohnya, pedagang makanan keliling, seperti nasi goreng, bakso, dll., sulit bagi mereka untuk melakukan sertifikasi. Begitu juga dengan warung rumahan, seperti penjual nasi pecel, gado-gado, dll.. Ketika warung pecel di dekat tempat tinggal kita tidak punya sertifikat halal Kemenag, apakah artinya nasi pecelnya tidak halal? Tidak begitu, kan?
Selain itu, pengujian produk juga tergolong rumit karena satu produk bisa memiliki banyak varian yang masing-masing harus diuji. Oleh karenanya, mekanisme sederhana oleh negara adalah dengan memastikan semua produk yang beredar adalah yang halal saja.
Sebaliknya, produk haram karena mengandung zat haram akan diberi label haram dan diedarkan khusus di kalangan nonmuslim. Mekanisme ini akan efektif dengan pengawasan distribusi bahan pangan di pasar, seperti daging, lemak, minyak, dsb.
Dalam sistem Islam, negara akan menugaskan para qadhi hisbah untuk rutin melakukan pengawasan setiap hari ke pasar-pasar, tempat pemotongan hewan, gudang pangan, ataupun pabrik.
Para qadhi bertugas mengawasi produksi dan distribusi produk untuk memastikan kehalalan produk, juga tidak adanya kecurangan dan kamuflase. Ini untuk memastikan bahwa hanya produk halal dan aman yang beredar di tengah masyarakat.
Dengan jaminan seperti ini, rakyat akan merasa aman dalam mengonsumsi produk. Mereka tidak perlu repot harus mengecek dahulu keberadaan sertifikat halal untuk varian produk yang hendak dikonsumsi.
Produsennya pun adalah orang-orang yang bertakwa sehingga akan memproduksi produk halal karena merupakan kewajiban dari Rabb-nya. Pelaku usaha tenang, rakyat sebagai konsumen juga tidak gamang.
Ketenangan ini terwujud karena negara menjalankan tugasnya. Negara yang bisa bertanggung jawab penuh terhadap tugas penjaminan kehalalan ini hanya Khilafah karena tegak di atas akidah Islam. Sedangkan negara di sistem kapitalisme saat ini justru abai dan hanya sibuk memungut cuan dari rakyatnya. Wallahu a’lam bi ash shawab. (*)
Penulis:
Hijrawati Ayu Wardani, S.Farm., M.Farm.
(Dosen Ilmu Farmasi)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.
Tidak ada komentar