FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Advokat dan akademisi hukum tata negara Prof Yusril Ihza Mahendra menanggapi putusan MK (Mahkamah Konstitusi), yang menolak permohonan Partai Solidaritas Indonesia untuk menurunkan batas usia capres dan cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun.
Menurut Yusril dengan ditolaknya gugatan tersebut, anggapan bahwa MK sebagai Mahkamah Keluarga tak terbukti. Istilah Mahkamah Keluarga muncul lantaran gugatan mengenai batas minimal usia capres-cawapres 35 tahun dianggap untuk melapangkan jalan Gibran Rakabuming Raka bin Jokowi, mencalonkan diri sebagai cawapres di Pilpres 2024.
“Dugaan bahwa Anwar Usman (Ketua MK), Jokowi, Gibran, dan bahkan Kaesang yang belakangan menjadi Ketua PSI sebagai pemohon akan menjadikan MK sebagai Mahkamah Keluarga ternyata tidak terbukti,” tutur Yusril dalam keterangan tertulis pada Senin (16/10).
Ketua MK, Anwar Usman yang merupakan ipar Presiden Joko Widodo dan paman dari Gibran, konon sependapat dengan mayoritas hakim MK yang menolak gugatan tersebut.
Atau mungkin juga Anwar tidak ikut memeriksa dan memutus permohonan, karena disebutkan putusan diambil oleh delapan hakim konstitusi. Anwar mungkin hanya memimpin sidang pembacaan putusan.
Putusan MK memang tidak bulat. Dua dari sembilan hakim MK, yakni Suhartoyo dan M. Guntur Hamzah, mempunyai pendapat yang berbeda.
Suhartoyo berpendapat pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum atau legal standing, sehingga MK seharusnya menyatakan tidak berwenang memeriksa pokok perkara.
Sementara itu, hakim Guntur Hamzah berpendapat bahwa permohonan seharusnya dikabulkan sebagian sebagai inkonstitusional bersyarat, yakni, calon presiden dan wakil presiden dikabulkan berusia 35 tahun dengan syarat pernah menjadi pejabat negara yang dipilih secara langsung oleh rakyat, termasuk kepala daerah.
Tidak ada komentar