OPINI—Mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri paling sering dikabarkan adalah mereka yang sudah tergolong remaja hingga dewasa. Kabar dari kalangan mereka di kalangan remaja dan dewasa ini sungguh sangat mengiris hati ketika mengetahui alasan mengakhiri hidupnya sendiri.
Belum ketika mendengar kabar yang melakukan itu adalah masih anak-anak. Terlintas pertama dipikiran adalah orang tua dari anak tersebut, selanjutnya pergaulan dan cara hidupnya, sehingga sebegitu mudah meniru umur lebih tua darinya melakukan bunuh diri.
Kasus bunuh diri ini tidak boleh dianggap remeh, karena kasusnya kian bertambah di tahun 2023 ini. KPAI mencatat selama Bulan Januari – November 2023 terdapat 37 aduan kasus mengenai anak mengakhiri hidupnya atau bunuh diri.
Kasus tersebut terjadi pada usia rawan, yakni kelas 5-6 SD, kelas 1-2 SMP, kelas 1-2 SMA. “Polanya ada di usia rawan dan di usia yang mengalami perubahan dari SD ke SMP dan SMP ke SMA,” ujar Ketua KPAI Ai Maryati Solihah melalui keterangan tertulis, (Tribunnews.com Jumat 1/12/23).
Bunuh diri pada anak-anak melihat dari segi umur tersebut bisa disimpulkan terjadi di usia rawan yaitu usia peralihan. Di usia inilah anak-anak merasa ingin diakui di circle pertemanan sehingga butuh jalan untuk eksis dengan memperlihatkan apa yang dipakai dari segi lifestyle baik itu dari pakaian dan gadget.
Sebut saja kasus yang baru-baru ini membuat netizen tanah air kembali dikejutkan dengan berita yang menyebutkan seorang anak SD nekat akhiri hidupnya dengan gantung diri. Korban yang merupakan seorang anak laki-laki berusia 10 tahun itu adalah siswa di salah satu Sekolah Dasar di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah.
Hal yang mengejutkan netizen adalah, penyebab dari korban nekat bunuh diri adalah karena dipicu permasalahan ponsel atau HP yang disita oleh sang Mama. Merasa tak terima dan kecewa, ia kemudian mengunci diri di dalam kamar dan mengakhiri hidupnya (popmama.com 29/11/23).
Kasus tersebut menyambung bisa menjawab gadget adalah alat mampu berselancar kemanapun sehingga menjadi contoh bagi anak melakukan apapun juga. Dari pendampingan KPAI, dapat dilihat bahwa media sosial dan beberapa situs mempunyai pengaruh.
Beberapa kasus yang kami awasi secara langsung, sebelum anak mengakhiri hidup, mereka mencoba mencari tahu di media sosial, atau berbagai link yang menjelaskan bagaimana mereka bisa lakukan itu,” (pikiranrakyat.com 30/11/23).
Melihat banyak kasus yang terjadi tentunya yang harus dianalisa adalah pemicu mengapa anak-anak mudah melakukan bunuh diri. Melakukan dengan mudah bisa berkaitan karena mental anak yang tidak stabil.
Mental yang tidak stabil dikarenakan hubungan keluarga bisa karena salah didik, percekcokan kedua orang tua baik karena perekonomian atau yang lainnya. Ketika dikritisi bagian salah didik itu tidak ada pengontrolan ketika penggunaan gadget sehingga sumber anak mengetahui cara bunuh diri tontonan yang menjadi tuntunan mereka.
Makin banyaknya kasus seperti ini menunjukkan ada kesalahan dalam tata kehidupan, baik dalam keluarga, masyarakat maupun negara. Mengapa keluarga sebab keluarga adalah tempat pertama anak didik perbaikan individu anak dengan menanamkan pendidikan berbasis penguatan aqidah.
Selanjutnya masyarakat juga berperan karena memperbaiki anak sendiri tidak cukup, anak sendiri tentunya akan dibiarkan bersosialisasi dengan yang lain sehingga penentuan circle juga ikut mempengaruhi ketika ada keluarga yang tidak memperdulikan pendidikan anak mereka.
Peran terakhir dan paling berpengaruh adalah negara, negara yang memiliki kekuasaan dalam mengatur dan mengurus kebutuhan rakyat. Sehingga kondisi mental pada anak tidak terganggu karena memberikan pemenuhan kehidupan sehingga keda orang tua bisa akur.
Selain itu, edukasi secara umum melalui akses internet ada filter yang tujuannya hanya untuk kemaslahatan yang mendidik pada anak tidak ada tontonan yang tidak layak ditonton. Peran negara tentunya sangat berkaitan dengan aturan yang diterapkan. Butuh aturan yang benar dan tegas yang mengatur. Aturan negara yang benar dan tegas itu ditemukan dalam tata aturan negara Islam.
Negara Islam dengan aturan paripurna mengatur semua aspek kehidupan. Mampu menyelesaikan berbagai permasalahan bukan hanya kasus bunuh diri pada anak. Islam memperhatikan tumbuh kembang anak dan menjaga kekuatan mental anak melalui pendidikan anak yang berkualitas.
Islam memiliki sistem Pendidikan yang berbasis akidah Islam yang mampu melahirkan generasi hebat dalam berkarya dan kuat iman dan kuat mental. Negara berkewajiban menjamin tiga kebutuhan pokok masyarakat, yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Berbeda dengan kebutuhan pokok individu, yaitu sandang, pangan, dan papan, di mana negara memberi jaminan tak langsung, dalam hal pendidikan, kesehatan, dan keamanan, jaminan negara bersifat langsung. Maksudnya, tiga kebutuhan ini diperoleh secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas negara.
Dalilnya adalah As-Sunnah dan Ijma’ Sahabat. Nabi SAW bersabda: “Imam adalah bagaikan penggembala dan dialah yang bertanggung jawab atas gembalaannya itu.” (HR Muslim).
Ijma’ Sahabat juga telah terwujud dalam hal wajibnya negara menjamin pembiayaan pendidikan. Khalifah Umar dan Utsman memberikan gaji kepada para guru, muadzin, dan imam sholat jamaah.
Khalifah Umar memberikan gaji tersebut dari pendapatan negara (Baitul Mal) yang berasal dari jizyah, kharaj (pajak tanah), dan usyur (pungutan atas harta non muslim yang melintasi tapal batas negara). Banyak kisah sejarah lain dalam masa kejayaan Islam mencontohkan hal demikian. Wallahua’lam bi shawab. (*)
Penulis
Sri Rahmayani, S. Kom
(Aktivis Pemerhati Masyarakat)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.
Tidak ada komentar