Lahat – Tidak ada lagi ruang abu-abu. 1 Januari 2026 adalah garis akhir. Mulai tanggal itu, seluruh angkutan batubara wajib angkat kaki dari jalan umum di Sumatera Selatan, sebagaimana diperintahkan dalam Instruksi Gubernur Sumatera Selatan Nomor 500.11/004/INSTRUKSI/DISHUB/2025. Jika larangan ini dilanggar dan dibiarkan, maka kesimpulannya tunggal dan telanjang: negara telah menyerah di hadapan kepentingan industri.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Perhimpunan Gerakan Nusantara Raya (DPP PGNR), Oktaria Saputra, menyebut bahwa setelah tanggal tersebut, keberadaan truk batubara di jalan umum tidak bisa lagi dianggap pelanggaran biasa, melainkan pembangkangan terhadap otoritas negara.
“Kalau instruksi gubernur masih dilanggar setelah 1 Januari 2026 dan tidak ada tindakan tegas, itu artinya negara memilih mundur. Bukan karena tidak tahu, tapi karena tidak berani,” ujar Oktaria.
Menurutnya, regulasi sudah sangat jelas dan lengkap. Yang selama ini bermasalah bukan aturan, melainkan pembiaran yang sistematis. Jalan umum terus dijadikan jalur produksi industri tambang, sementara kerusakan jalan, jembatan runtuh, dan ancaman keselamatan warga dianggap sebagai biaya yang harus diterima publik.
“Itu bukan pembangunan. Itu pemindahan beban industri ke pundak rakyat,” tegasnya.
Oktaria menegaskan bahwa jalan umum bukan bagian dari konsesi pertambangan. Jalan tersebut dibangun dari pajak rakyat dan diperuntukkan bagi kepentingan publik. Menggunakannya untuk angkutan batubara setelah larangan berlaku adalah bentuk perampasan ruang publik yang dilegalkan oleh kelonggaran kekuasaan.
Ia menolak keras alasan transisi berkepanjangan yang kerap digunakan perusahaan. Menurutnya, jika sebuah perusahaan belum memiliki jalan khusus, maka yang seharusnya dihentikan adalah aktivitas pengangkutan, bukan penegakan hukum.
“Negara tidak boleh menyesuaikan diri dengan pelanggaran. Jika itu terjadi, maka hukum kehilangan makna dan instruksi hanya menjadi dekorasi kekuasaan,” katanya.
Lebih jauh, Oktaria mengingatkan bahwa pembiaran pasca 1 Januari 2026 akan menjadi preseden nasional yang berbahaya. Publik akan belajar bahwa keputusan pemerintah bisa dinegosiasikan oleh pemilik modal, dan keselamatan warga bisa dikalahkan oleh logika keuntungan.
“Ini bukan semata soal batubara atau transportasi. Ini soal wibawa negara. Jika negara tidak berani membersihkan jalan umum dari truk batubara, maka negara sedang mengumumkan kelemahannya sendiri,” ujarnya.
DPP PGNR menegaskan bahwa publik akan menilai kepemimpinan daerah secara konkret mulai 1 Januari 2026. Ukurannya sederhana dan tidak bisa dipelintir: jalan umum bersih dari truk batubara, atau negara harus jujur mengakui bahwa ia kalah.
“Rakyat tidak menuntut pidato. Rakyat menuntut keberanian,” tutup Oktaria.












