Bekasi, – Haksuara.co.id – Pembangunan Rumah Sakit (RS) Pinna Karangsatria di Kabupaten Bekasi kembali menjadi sorotan publik. Dugaan kuat menyatakan bangunan tersebut menyalahi Garis Sepadan Sungai (GSS) Kali Bekasi dan sejumlah regulasi tata ruang daerah. Kini, desa setempat meminta penegakan hukum berjalan tanpa kompromi.
Zaenudin Resan, Kepala Desa Karangsatria, menjelaskan bahwa struktur bangunan hampir separuh berada di atas bantaran sungai, melampaui batas aman sesuai ketentuan.
“Jangankan perorangan, badan hukum seperti RS Pinna pun membangun hingga ke bibir kali. Kami di desa tidak punya kewenangan untuk menindak,” ujar Zaenudin yang telah 40 tahun mengabdi sebagai aparat desa..
Selain RS Pinna, ratusan bangunan liar (Bangli) juga ditemukan menjamur di sepanjang Jln. Kompa dan Jln. Radar, yang berdiri di atas tanah negara serta kali tertier yang sengaja ditutup penggarap. Akibatnya, tata kota di kawasan tersebut terganggu, menimbulkan kemacetan lalu lintas, dan memperparah genangan saat hujan turun.
Kondisi ini diperparah karena RS Pinna diduga tidak memenuhi syarat Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Koefisien Dasar Bangunan (KDB), dan Koefisien Lantai Bangunan (KLB). Selain itu, tak tampak sistem pengelolaan limbah (SPAL) dan fasilitas penampungan limbah B3—yang seharusnya menjadi standar operasional rumah sakit.
Meski laporan terhadap bangunan liar ini telah berulang kali disampaikan kepada Distarkim dan Dinas Cipta Karya Kabupaten Bekasi, belum ada tindakan nyata dari pemerintah daerah. Ketiadaan anggaran penataan pasca-penertiban membuat desa tak berdaya.
“Kalau ditertibkan tapi tidak ditata, penggarap pasti akan kembali,” imbuh Zaenudin.
Hisar Pardomuan, Ketua RJN Bekasi Raya, menegaskan bahwa lamanya respons pemerintah menunjukkan lemahnya komitmen penegakan aturan.
“Apa yang terjadi di Karangsatria bukan sekadar pelanggaran tata ruang, tapi cermin lemahnya komitmen pemerintah daerah dalam menegakkan regulasi. RS Pinna dan bangunan liar lainnya tak bisa dibiarkan terus berdiri tanpa kejelasan status hukum dan dampak lingkungannya. Jika pemerintah lamban, publik akan kehilangan kepercayaan,” tegas Hisar.
Sementara itu, Camat Tambun Utara, Najamudin, meminta agar pihak berwenang segera meninjau legalitas bangunan.
“Kalau tidak sesuai peraturan kita serahkan saja kepada pihak yang berwenang. Kalau sudah sesuai aturan, silakan beroperasi. Apalagi ini rumah sakit, meskipun profit, tetapi juga mengandung unsur kemanusiaan,” ujarnya.
Hingga saat ini, Dinas Cipta Karya dan Distarkim belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait kasus tersebut, meskipun warga dan pejabat desa telah menyampaikan laporan beberapa kali. Kondisi ini menimbulkan kritik terhadap efektivitas pengawasan tata ruang daerah.
Warga menuntut audit teknis yang melibatkan Tim Amdal, DED, pihak instansi kewilayahan, serta kemungkinan pembongkaran atau penataan ulang. Mereka juga berharap Pemkab dan Gubernur Jawa Barat segera turun tangan untuk menyelamatkan lingkungan dan memastikan keamanan jangka panjang masyarakat di bantaran sungai.