Scroll untuk baca artikel
banner 325x300
Nasional

The Verdict dan Luka Keadilan Indonesia DPP PGNR: “Cerita Raka adalah cermin ribuan rakyat yang kalah sebelum bertanding.”

5
×

The Verdict dan Luka Keadilan Indonesia DPP PGNR: “Cerita Raka adalah cermin ribuan rakyat yang kalah sebelum bertanding.”

Sebarkan artikel ini

Jakarta – Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Perhimpunan Gerakan Nusantara Raya (DPP PGNR), Oktaria Saputra, menyampaikan apresiasi mendalam sekaligus kritik tajam setelah menyaksikan film Keadilan: The Verdict, sebuah kolaborasi Indonesia–Korea Selatan yang memotret sisi gelap penegakan hukum melalui kisah persidangan yang menekan, manipulatif, dan sarat ketidakadilan. Menurutnya, film ini bukan hanya karya seni, tetapi refleksi paling jujur tentang bagaimana sistem hukum dapat menjadi alat penindas ketika dikuasai oleh uang dan kekuasaan.

Film ini menceritakan sosok Raka, seorang petugas keamanan pengadilan yang hidupnya hancur setelah istrinya, Nina, ditemukan tewas secara kejam. Nina, yang sedang mengandung dan baru saja menjadi advokat, menjadi korban tragedi yang mengarah pada satu pelaku utama, Dika, anak seorang pengusaha kaya dan berpengaruh. Proses hukum semakin keruh ketika Dika dibela oleh Timo, pengacara yang lihai memainkan celah hukum, mengandalkan koneksi, dan memanipulasi ruang sidang demi memenangkan kliennya. Sejumlah laporan dari media nasional seperti Antara News, IDN Times, BeritaSatu, Narasi TV, dan Merahputih menegaskan bahwa film ini menampilkan bagaimana bukti melemah, saksi tertekan, dan opini publik digiring demi kepentingan pihak yang kuat.

banner 325x300

Oktaria menilai bahwa apa yang terjadi dalam film ini sangat paralel dengan kenyataan yang sering kita saksikan di Indonesia. Ia menyebut bahwa di banyak kasus besar, terutama yang melibatkan anak pejabat, pengusaha kaya, atau figur berkuasa, proses hukum sering berjalan pincang. Korban tidak hanya kehilangan kesempatan mendapatkan keadilan, tetapi juga dipaksa menerima perlakuan tidak manusiawi ketika fakta-fakta dipelintir demi melindungi kepentingan tertentu. Ia menegaskan bahwa pola ini bukan sekadar insiden, tetapi telah menjadi pola sistemik yang berulang.

“Film ini tidak jauh dari kenyataan yang kita temui setiap hari. Ketika pelaku berasal dari keluarga berpengaruh, ada begitu banyak hal yang mendadak berubah di ruang sidang. Bukti yang awalnya kuat menjadi abu-abu, saksi mulai bungkam, dan narasi kasus direkayasa. Korban seperti Nina tidak hanya kehilangan hidup, tetapi keluarganya seperti Raka dipaksa melawan tembok kekuasaan,” ujar Oktaria, Sabtu (22/11/2025).

Ia juga menyoroti sisi emosional film yang memperlihatkan bagaimana keputusasaan dapat membawa seseorang pada keputusan ekstrem. Ketika Raka merasa bahwa hukum tak lagi mampu melindungi kebenaran, ia mengambil langkah yang mengguncang proses persidangan. Bagi Oktaria, tindakan Raka menggambarkan desperasi banyak warga negara yang merasa bahwa negara tidak lagi hadir untuk mereka. “Raka adalah simbol masyarakat kecil yang berkali-kali dibungkam. Ketika hukum tidak lagi berpihak kepada korban, maka yang hancur bukan hanya individu, tetapi kepercayaan rakyat terhadap negara,” ucapnya.

Oktaria menegaskan bahwa film ini seharusnya menjadi momentum refleksi bagi seluruh aparat penegak hukum. Ia mengingatkan bahwa keadilan tidak akan pernah hadir hanya karena aturan tertulis. Keadilan lahir dari moralitas, keberanian, dan integritas aparatnya. Ketika hukum dijalankan hanya sebagai prosedur, tanpa nurani dan keberanian melawan intervensi, maka rakyat kecil akan selalu menjadi pihak yang dikorbankan.

Dalam pesannya, Oktaria menekankan perlunya pembenahan menyeluruh di semua lini penegakan hukum. Ia menuntut proses hukum yang transparan, perlindungan penuh bagi saksi dan korban, serta pemisahan tegas antara aparat hukum dan kepentingan politik. Ia juga menyoroti perlunya penegakan etika profesi bagi pengacara agar ruang sidang tidak berubah menjadi panggung manipulasi.

“Film The Verdict adalah peringatan keras. Jika penegak hukum tetap membiarkan celah dimainkan oleh mereka yang memiliki akses kekuasaan, maka tragedi seperti kisah Raka akan selalu menjadi bagian dari kehidupan masyarakat kita. Negara tidak boleh berdiri di sisi uang. Negara harus berdiri di sisi kebenaran,” tutup Oktaria.