Lahat – Pagi itu, matahari baru setengah naik di ufuk timur. Di Desa Sirah Pulau, Kecamatan Merapi Timur, aktivitas pasar tradisional sudah riuh. Bau tanah basah masih tercium, bercampur aroma kopi tubruk dari warung kecil di tepi jalan. Dari desa inilah, 28 tahun lalu, lahir seorang anak perempuan yang kelak mencatatkan sejarah di Kabupaten Lahat: Widia Ningsih, S.H., M.H.
Bukan sekadar menjadi pejabat, Widia menjelma simbol perubahan. Dari seorang anak yang terbiasa membantu ibunya ke pasar, menemani ayahnya mengantar barang dagangan, hingga kini duduk di kursi Wakil Bupati Lahat—perjalanan ini adalah cerita tentang keberanian mengambil peran, bahkan ketika banyak yang meragukan.
Akar Kepemimpinan dari Rumah Sederhana
Buku “Widia Ningsih: Muda, Berkarya, dan Mengabdi untuk Lahat”, karya Oktaria Saputra, S.E., M.Si., merekam perjalanan itu dengan detail. Ditulis dalam 80 halaman, dengan nomor ISBN: 978-634-208-297-3, buku ini mengalir seperti aliran Sungai Lematang yang menghidupi tanah kelahiran Widia—kadang tenang, kadang deras, tapi selalu mengalir menuju muara pengabdian.
Widia tumbuh dalam keluarga sederhana. Ayahnya, Leman C, seorang pengusaha lokal yang dihormati karena kejujurannya; ibunya, Meliana, adalah sosok sabar yang mengajarkan bahwa pengabdian dimulai dari rumah. “Bapak selalu bilang, jangan hidup hanya untuk makan. Tapi makanlah agar kau bisa mengabdi,” kenang Widia—kalimat yang kini ia jadikan kompas moral dalam memimpin.
Jejak Panjang Menuju Politik
Latar belakang hukum yang ditempuh di Universitas Muhammadiyah Palembang membuka matanya pada realitas bahwa banyak warga desa tidak paham hak-hak mereka. Ia aktif membela masyarakat kecil dalam sengketa tanah, membantu pedagang memahami aturan pasar, dan mendampingi ibu-ibu mengurus administrasi.
Karier politiknya dimulai dari DPRD Kabupaten Lahat periode 2019–2024. Di sana, Widia menjadi suara lantang yang memperjuangkan pemerataan anggaran pendidikan dan kesehatan desa. Namun, babak baru dimulai saat ia memutuskan maju di Pilkada Lahat 2024—sebuah langkah yang dianggap nekat oleh sebagian orang karena usianya yang masih muda.
Pemimpin yang Turun ke Tanah Lumpur
Kemenangan membawa Widia ke kursi Wakil Bupati. Tetapi bagi warga, yang membuatnya istimewa bukan jabatan, melainkan caranya memimpin. Ia dikenal sering datang ke desa-desa tanpa seremoni berlebihan—menyeberangi sungai tanpa jembatan, tidur di rumah warga, hingga makan siang sederhana di pondok petani.
Program “Membangun Lahat dari Pinggiran” menjadi andalan. Fokusnya adalah membawa listrik, jalan layak, air bersih, layanan kesehatan, dan internet ke desa-desa terpencil. Ada pula gerakan “Perempuan Tumbuh, Lahat Bangkit” yang melatih ribuan perempuan desa berwirausaha, serta inovasi “Lahat Satu Data” yang memutus kebocoran bantuan dan memastikan kebijakan tepat sasaran.
“Pemimpin harus melihat dari mata rakyat, bukan dari laporan staf,” tegasnya.
Lebih dari Biografi
Buku ini bukan sekadar kisah hidup. Ia adalah dokumentasi nilai—tentang integritas, kerja nyata, dan keberanian mematahkan stigma gender. Narasi Oktaria Saputra tidak hanya memaparkan data dan program, tetapi juga menghadirkan potongan kehidupan sehari-hari Widia: dari ruang rapat pemerintahan hingga tatapan seorang ibu yang menyusui anaknya di sela kunjungan kerja.
Bagi penulisnya, karya ini adalah undangan kepada pembaca untuk percaya bahwa politik bisa dijalankan dengan hati. “Widia mengajarkan bahwa perubahan besar bisa lahir dari langkah kecil, selama diambil dengan tulus,” tulis Oktaria dalam kata pengantar.
Menginspirasi Generasi Baru Pemimpin
Buku ini layak dibaca oleh akademisi, aktivis, politisi muda, dan masyarakat luas yang ingin melihat wajah lain dari kepemimpinan daerah. Ia membuktikan bahwa pemimpin tidak harus lahir dari elite, melainkan bisa dari jalan tanah desa yang basah oleh hujan semalam.
Widia Ningsih kini menjadi bagian dari gelombang baru kepemimpinan daerah—gelombang yang percaya bahwa kekuasaan bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani.